Oleh Eka Harisma W.

Disusun untuk diskusi bersama mahasiswa program Magister Ilmu Susastra

dalam kuliah “Sastra Dunia”


I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

“Supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakkan cercaan” (Camus, 1985: 102). Kutipan di atas memperlihatkan benturan pemikiran kematian ideal dengan kematian ganjil. Adalah harapan kebanyakan orang pada saat mereka mati banyak orang datang untuk meneteskan air mata dan melantunkan doa. Namun, cerita tentang kematian dalam Orang Asing dibuat berbeda oleh Camus. Kematian yang diharapkan tokoh yang dibuatnya adalah kematian dengan lontaran kemarahan dan kebencian banyak orang. Harapan yang teramat ganjil bukan?

Albert Camus dalam novelnya ini banyak membicarakan tentang persoalan-persoalan hidup manusia, seperti tindakan yang dilakukan tanpa maksud dan dapat dikatakan tidak berarti, kegiatan dan peristiwa yang tidak ada bedanya bahkan kehilangan maknanya, dan lain-lain. Tidak hanya menyoroti peristiwa kehidupan, Camus juga menampilkan bagaimana cara kegiatan dan peristiwa-peristiwa yang tanpa makna dan kehilangan daya ubahnya itu dihentikan dengan kematian.

Kehidupan dan kematian merupakan dualitas mendasar yang dialami manusia. Persoalan alasan manusia hidup, tujuan mereka hidup, atau persoalan yang menyangkut kehidupan manusia menjadi petanyaan–pertanyaan panjang yang sulit dipecahkan oleh manusia itu sendiri. Permasalahan tentang hidup tidak terlepas dari makna hidup yang menjadi pertanyaan tajam dalam pemikiran manusia. Menurut Britton, sejak manusia sadar akan relasinya dengan alam dan kehidupan, manusia senantiasa menoleh kembali kepada dirinya sendiri sebagai titik tolak melakukan penilaian. Seperti halnya yang ditegaskan protogoras dengan adagiumnya yang terkenal; homo mensura, yang berarti manusia menjadi tolak ukur, baik tolak ukur dalam ilmu pengetahuan, filsafat, seni, maupun teknologi (1971: 1).

Problematika kehidupan yang terjadi di dunia seperti meletusnya Perang Dunia 1 dan 2 yang terjadi pada abad pertengahan menurut Solomon dan Higgins merupakan tanda kegagalan peradaban manusia dan merupakan kondisi keputusasaan yang mendapat tempatnya. Martabat manusia telah jatuh pada titik rawan yang disebabkan oleh kekerasan dan pembunuhan besar-besaran/ holocaust (2002: 527).

Oleh Albert Camus, peristiwa kehidupan itu mendapat sorotan tajam dan dirumuskannya dalam sebuah tema filosofis yang disebutnya dengan absurditas. Dalam tema itu, ia menegaskan bahwa kehidupan manusia telah kehilangan maknanya. Manusia telah menemukan dan menjalani kehidupan yang tanpa makna.

"The Absurd" refers to the conflict between the human tendency to seek inherent meaning in life and the human inability to find any. In this context absurd does not mean "logically impossible," but rather "humanly impossible.The universe and the human mind do not each separately cause the Absurd, but rather, the Absurd arises by the contradictory nature of the two existing simultaneously. (http://en.wikipedia.org/wiki/Absurdism)

Tema absurditas/ketidakbermaknaan yang diusung Camus juga terdapat pada salah satu novelnya, Orang Asing. Seperti yang sudah penulis paparkan bahwa novel ini sarat akan peristiwa kehidupan manusia, maka novel ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Memang sudah banyak peneliti yang mengkaji novel ini dengan memandang dari segi absurditas, namun hal itu tidak menutup kemungkinan terjadi pengkajian ulang terhadap teks sastra. Seperti halnya yang penulis lakukan yaitu mengkaji novel ini dari akhir tragis tokoh Mersault, yaitu kematiannya yang menurut penulis merupakan akhir dari hidup yang tanpa makna. Sehingga timbul beberapa pertanyaan semisal, bagaimana perasaan-perasaan absurd yang dijalani tokoh Meursault, keterasingan yang dialaminya, dan akhir dari perasaan absurnya atau akhir dari absurditas itu. Pada akhirnya akan ditemukan jawaban-jawaban setelah dilakukan pengkajian yang komprehensif, dan bisa jadi pengkajian yang penulis lakukan akan membuka penelitian-penelitian baru tentang novel ini.

II. PEMBAHASAN

A. Tokoh Mersault yang Selalu Merasa Absurd

Problematika kehidupan manusia diceritakan begitu ganjil dan aneh dalam novel yang berlatar Aljazair ini. Novel Orang Asing ini diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, yaitu sudut pandang tokoh Meursault. Sebagai tokoh utama, Meursault merupakan tipikalisasi “kesia-siaan,” seperti yang telah digagas Camus dalam eseinya, The Myth of Sisyphus. Ia adalah simbol yang paling terlihat dari Sisifus yang senantiasa mendorong batu hingga ke atas bukit kemudian menggelindingkannya kembali ke bawah. Bagi tokoh Meursault, hidup merupakan serangkaian absurditas yang harus diterima sebagai kewajaran. Alasanya tidak lain adalah karena ketidakmampuan dirinya untuk menemukan makna setiap kehidupan dan memahami setiap peristiwa yang dialami. Hal itu sesuai dengan definsi absurditas dalam (http://en.wikipedia.org/wiki/Absurdism).

Pengarang, dalam hal ini Camus, menggambarkan seorang tokoh yang pemikiran-pemikiran dan caranya merespon setiap peristiwa yang menimpanya dengan sangat ganjil bagi kebanyakan orang. Hal ini dapat dilihat dari gaya penuturan cerita yang datar, jauh dari perasaan-perasaan emosional. “Hari itu ibu meninggal. Atau mungkin sehari sebelumnya, aku tidak tahu. Aku menerima telegram dari panti wreda, ‘Ibu meninggal kemarin. Dimakamkan besok. Ikut berduka cita.’ Kata-kata itu tidak jelas. Mungkin ibu meninggal sehari sebelumnya.” (Camus, 1985:3).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Meursault seperti tidak memiliki perasaan, atau dia tidak menunjukkan perasaan emosional terhadap kematian ibunya. Berbeda dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita, tokoh Meursault digambarkan sebagai sosok yang menerima segala sesuatunya sebagai kewajaran. Ia tidak berusaha untuk memaknai, apalagi memahami kehidupan dan dunianya. Hal ini ditunjukkan Camus ketika tokoh Meursault menolak untuk melihat jasad ibunya untuk terakhir kali, ia tidak dapat memberikan alasan pasti. Ketika ditanya oleh penjaga pintu yang menawarkan untuk membuka peti mati ibunya, tokoh ini menolaknya. Penjaga itu bertanya kepada tokoh Meursault. “Mengapa?” ia hanya menjawab “Saya tidak tahu.” (1985: 6). Hal senada juga ditunjukkan Camus dengan menceritakan tokoh Meursault yang melewati kehidupan yang sama saja nilainya dengan yang dulu sebelum ibunya meninggal. “Aku berpikir bahwa hari Minggu telah lewat, bahwa saat itu ibu telah dikuburkan dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku dan bahwa, secara ringkas, tak ada yang berubah (Camus, 1985:20). Dari kutipan itu menunjukkan bahwa tokoh Meursault menanggapi sesuatu secara biasa saja sebagai kewajaran, rutinitas yang sia-sia sehingga dia terlihat seperti tidak memiliki perasaan.

Perasaan absurd Mersault lain yang digambarkan Camus adalah ketika Mersault menganggap sesuatu hal itu tidak penting. Misalnya soal cinta dan perkawinan. Tokoh Marie yang tidak lain adalah pacar Mersault beranggapan bahwa pernikahan adalah penting dan didasari dengan cinta. Pada saat ditanya oleh tokoh Marie apakah Meursault mencintainya, Meursault mengatakan bahwa itu tidak penting, bahkan dia mengatakan tidak. Seperti yang terlihat dalam kutipan:

“Pada sore hari, Marie datang mencariku dan bertanya apakah aku mau kawin dengan dia. Aku berkata bahwa bagiku, hal itu sama saja dan bahwa kami bisa melakukannya jika ia menghendakinya. Lalu ia ingin tahu apakah aku mencintainya. Aku menjawab seperti yang pernah kulakukan sekali dulu, bahwa hal itu tidak berarti apa-apa tetapi bahwa mungkin aku tidak mencintainya.” Lalu buat apa kawin denganku?” katanya. Kuterangkan padanya bahwa hal itu tidak penting dan bahwa jika ia menginginkan, kami bisa menikah. …. Ia lalu mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu hal yang cukup serius. Aku menjawab, “Tidak” (Camus, 1985: 36).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Meursault merupakan tipikalisasi kesia-siaan. Dia diceritakan memiliki perasaan absurd karena dunia yang dijalaninya sama saja, tidak ada artinya. Sehingga hal tersebut menimbulkan sebuah konflik batin tokoh Meursault dengan dirinya dan lingkungan sekitarnya. Tokoh ini seperti tidak tahu apa-apa dan tidak mengerti tentang dunia yang ditempatinya “di wilayah tempat tinggal kami, orang mengangggap aku kejam karena aku telah menyerahkan ibu ke panti wreda. Aku menjawab, aku masih belum mengerti mengapa, bahwa sampai saat itu aku tidak tahu aku dianggap kejam karena soal itu,” (Camus, 185: 39). Sebenarnya pemikiran-pemikiran tokoh ini sederhana dan logis. Terlihat dari alasan dia memasukkan ibunya ke panti wreda jelas karena penghasilannya tidak mencukupi. Tetapi masyarakat di mana tokoh ini ada berpendapat lain dan tidak bisa menerima alasan itu. Pemikirannya yang logis itu bertentangan dengan pemikiran masyarakatnya sehingga menimbulkan konflik sejajar antara dirinya dan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Camus dalam artikelnya (1999: 164-167) yang dikutip dalam blog Asratisme berjudul Existensialisme Albert Camus Dalam Orang Asing, sebuah karya absurd dapat dikenali melalui kontradiksi tragedi rohani pikiran dan wujud konkretnya; antara jiwa yang tidak kenal batas dan kegembiraan jasmani yang fana. Karya absurd menampilkan kontras-kontras sejajar antara keduanya dengan menggabungkan yang logis dan yang sehari-hari ke dalam yang tragis.

Ketragisan tokoh Meursault ini diakibatkan oleh tindakan-tindakannya sendiri. Seperti ketika dia tidak dapat membela dirinya sendiri. Hal itu terlihat pada saat di pengadilan, yaitu ketika ia ditanya oleh pembela dan hakimnya tentang sebab dia menunggu antara tembakan pertama dan kedua dan kenapa dia menembak tubuh yang sudah terkapar, tokoh ini diam saja. Tokoh Meursault sama sekali tidak berusaha untuk memberikan jawaban yang dipikirkannya. Selain itu, dia juga tidak dapat meyakinkan orang-orang yang berada di pengadilan dalam novel ini bahwa dia sangat mencintai ibunya. “Yang dapat kukatakan dengan cepat dan pasti, yaitu bahwa aku lebih suka ibu tidak meninggal, tetapi pembelaku nampak tidak puas. Ia berkata ‘itu tidak cukup’” (Camus, 1985: 57).

Selain pemikirannya yang aneh bagi kebanyakan tokoh lain, tokoh Meursault juga digambarkan seperti tidak memiliki harapan dan ambisi untuk mengubah hidupnya. Tokoh ini selalu menerima apa yang terjadi dalam hidupnya. Dia menganggap segala sesuatunya adalah wajar dan sama saja. Konsep kewajaran ini dalam Orang Asing terlihat pada cara pandang tokoh Meursault tentang dunia, bahwa segalanya telah kehilangan daya ubahnya. Hal itu seperti terlihat dalam kutipan “…pada dasarnya bagiku sama saja … kita tidak pernah mengubah hidup kita, bagaimanapun juga semua sama saja nilainya dan bahwa aku menyukai benar hidupku di sini” (Camus, 1985: 36). Kutipan ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya tokoh Meursault menerima apa pun yang menimpa dirinya sebagai sebuah kewajaran dan terlihat seperti tidak memiliki harapan hidup. Ketika di penjara, tokoh Meursault menerima keadaannya dengan mencoba mengerti bahwa “manusia yang mungkin hanya hidup sehari dapat bertahan selama seratus tahun dalam penjara tanpa kesulitan. Ia mempunyai cukup banyak kenang-kenangan untuk tidak merasa bosan, dalam satu arti itu keuntungan” (Camus, 1985:68). Kutipan ini menunjukkan pemikiran tokoh ini sungguh aneh, berbeda dari kebanyakan tokoh lain. Bahkan melalui keterpenjaraannya, dia dapat melihat suatu keberuntungan. Manusia seperti tokoh Mersault dengan paham absurd telah bebas dari kebutuhan akan harapan. dia melakukan sesuatu sebagai sebuah rutinitas (karena ia tahu akan gagal lagi). Dia seolah seperti diombang-ambingkan oleh kehendak (dalam istilah kierkegard, kehendak yang manganiaya, manusia hidup dalam kesia-siaan). Oleh karena setiap tindakan telah menjadi rutinitas, hal yang sia-sia (bahkan menganiaya) ditanggapinya secara datar, biasa. Dia juga diceritakan pengarang dapat menerima dengan ikhlas hukuman yang akan menimpannya.

“Pada hakekatnya aku tahu bahwa mati pada umur tiga puluh atau enam puluh tahun tidak begitu penting, karena tentu saja dalam kedua kasus tersebut laki-laki dan wanita lain akan tetap hidup, dan itu terjadi selama ribuan tahun. Pokoknya tidak ada yang lebih jelas. Selalu aku yang mati, sekarang atau dua puluh tahun yang akan datang” (Camus, 1985:95-96).

Bahkan dia menolak mengajukan permohonan pengampunannya. Selain itu tokoh ini juga diceritakan seorang yang tidak percaya pada Tuhan (Camus, 1985: 97). Dia diceritakan selalu menolak kedatangan pendeta di saat-saat terakhir hidupnya. Dia juga memanggil pendeta itu dengan panggilan ‘Tuan” bukan ‘Bapa’ seperti kebanyakan orang dalam novel itu. Konsistensinya menolak kedatangan pendeta di saat-saat terakhir hidupnya menunjukkan konsistensinya pada penerimaannya. Ketidakpercayaan dirinya akan Tuhan merupakan ketidakpercayaan akan balasan surga dan neraka. Pandangan Mersault yang seperti ini dikarenakan dia sudah bebas dari harapan dan tujuan hidup dan karena dia merasa tidak mampu untuk memaknai setiap peristiwa yang terjadi.

B. Keterasingan Tokoh Meursault

Perasaan absurd yang didera oleh tokoh Meursault merupakan ketidakmampuannya dalam memahami keadaan dan peristiwa yang terjadi di dunia tempat dia mengada. Dia tidak dapat memaknai setiap peritiwa yang terjadi pada dirinya. Secara individu, tokoh meursault digambarkan terasing terhadap dirinya sendiri. Hal itu ditunjukkan dengan ketidaktahuan tentang pemikirannya sendiri. Soal apakah dia menyukai ibunya atau tidak dia juga kebingungan menjelaskannya. Tidak hanya itu, dia bahkan tidak tahu apa alasan dari sebuah tindakan yang dia lakukan. Misalnya, dia tidak tahu benar kenapa membunuh orang, dan menembak dengan 5 kali tembakan, kenapa ada jeda waktu antara tembakan pertama dan kedua, dan lain-lain tokoh ini tidak dapat menjelaskannya.

Pemikiran-pemikiran yang berbeda itu menyebabkan tokoh init erasing dengan dunianya. Seperti pemikirannya tentang memasukkan ibunya ke panti wreda dianggap kejam oleh masyarakat, sedangkan menurutnya tidak dan lain-lain seperti yang telah penulis uraikan dalam sub bab A. Ketika tokoh lain menganggap sesuatu itu penting, tokoh Meursault ini mengatakan itu tidak penting. Hal itu diceritakan dengan bagus oleh pengarang dalam novel ini dengan menunjukkan percakapan tokoh Marie dan tokoh Meursault tentang perkawinan dan cinta. Keterasingan yang dialami tokoh Meursault ini merupakan akibat dari perasaan absurd yang dialaminya.

Hal yang lebih tidak dapat dipahami tokoh Meursault adalah ketika di pengadilan. Sidang-sidang yang diperuntukkan kepadanya tidak membuatnya mengerti akan dirinya dan lingkungannya. Hal itu juga tidak membuat orang dapat memahaminya dan memahami dunia dengan baik. Tokoh ini beranggapan bahwa “… hal itu menjauhkan aku dari perkaraku, dan mengurangi diriku sampai habis, dalam satu arti, menggantikan diriku. Tetapi aku rasa itu sudah terlalu jauh dari ruang sidanga ini” (Camus, 1985: 87). Penulis melihat bahwa pandangan tokoh Meursault ini memang benar. Kasus kejahatannya adalah membunuh orang. Tetapi jaksa membawa pertanyaan-pertanyaan dalam sidang lebih banyak pertanyaan yang berkaitan dengan dirinya dan ibunya. Kematian ibunya dikaitkan dengan kejahatannya membunuh orang. Jaksa penuntut membawa kasusnya ke arah pembunuhan berencana, dan tokoh Meursault tidak dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya. Dia pasrah menerima segala hukuman yang akan menimpannya. Camus dalam novelnya menyindir institusi pengadilan yang terkesan tidak dapat melihat kejadian secara bersih. Mereka hanya melihat dari kacamata hitam dan putih, salah dan benar.

C. Berakhirnya Absurditas

Tokoh Meursault diceritakan memiliki keyakinan yang kuat akan apa yang dialaminya dan tentang hidupnya namun, masyarakat dalam novel ini melihatnya berbeda. Sehingga dia terlihat asing dengan dunianya. Meskipun tokoh Meursault ini merupakan tokoh yang asing dengan dunianya, dia harus menerima segala sesuatunya sebagai sebuah kewajaran. Menurut Camus, “kewajaran itu sebanding dengan besarnya kesenjangan antara keanehan hidup seorang manusia dan kebersahajaannya dalam menerima hidup yang aneh itu” (1999: 163). Dengan melihat semua sebagai kewajaran, dapat menimbulkan harapan yang aneh bagi seseorang.

Harapan aneh yang dimiliki tokoh Meursault ditunjukkan Camus pada saat-saat terakhir dia akan dihukum mati. Seperti tampak dalam kutipan, “Supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakkan cercaan” (Camus, 1985: 102).

Kutipan yang sudah pernah penulis kutip pada bab pendahuluan di atas sebenarnya mengisyaratkan bahwa tadinya, pada saat tokoh Meursault hidup dia merasa tidak ada orang lain yang memperhatikannya dan mengacuhkannya. Sehingga pada saat dia akan dimatikan oleh institusi pengadilan dia merasa dunia terfokus pada dirinya. Dunia tidak mengacuhkannya.

Camus menceritakan bahwa tokoh Meursault ini sadar akan kehidupan absurd yang dijalaninya. Tetapi tokoh ini sangat yakin akan apa yang dijalani dan dipilihnya.

“… aku yakin akan diriku, yakin pada semuanya, …yakin pada hidupku dan kematian yang akan datang itu. Tetapi sedikitnya, aku berpegang pada kebenaran itu semantap kebenaran itu menjadi milikku. Aku telah benar, aku masih benar dan aku selalu benar. Dengan demikian aku telah hidup dan aku akan hidup dengan cara lain. Aku telah melakukan ini dan aku tidak melakukan itu. … Dari dasar masa depanku, selama aku menjalani kehidupan yang absurd itu, desau yang samar-samar naik ke arahku melewati tahun-tahun yang belum tiba dan desau itu dalam perjalanannya menyamakan semua yang disarankan kepadaku waktu itu, dalam tahun-tahun yang paling nyata yang telah kujalani” (Camus, 1985: 101).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Meursault merupakan manusia yang bermoral absurd. Moralitas absurd dibangun atas dasar gagasan bahwa suatu tindakan memiliki konsekuensi yang mensahkan atau menghapuskannya. Semua ini hanya bisa dilakukan dengan penuh kesungguhan. Artinya bagi seorang yang absurd berarti ia mengamini segala bentuk kegiatannya dengan penuh rasa tanggungjawab dan cinta. Mersault yakin akan dirinya bukan karena dia yakin absurdias akan berakhir tetapi lebih kepada dia siap akan hidup lagi dan menemukan makna-makna baru meskipun nantinya dia juga tidak dapat menemukan makna-makna itu. Seperti terlihat dalam kutipan,

“aku merasa siap untuk hidup kembali. Seakan-akan kemarahan yang luar biasa itu telah mencuci diriku dari kejahatan, mengosongkan diriku dari harapan, di hadapan malam yang penuh dengan tanda dan bintang itu, untuk pertama kali aku membuka diriku pada ketakacuhan lembut dunia ini. Karena setelah merasakan bahwa ia begitu sama denganku, dan akhirnya begitu bersaudara, aku merasa bahwa aku telah berbahagia dan masih demikian adanya” (Camus, 1985: 102).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa makna bukan dilihat dari tujuan dan harapan hidup seorang Meursault, tetapi lebih terletak dari setiap tindakannya. Dia sebenarnya tahu bahwa kehidupannya akan menjadi rutinitas yang tanpa makna lagi dan dia yakin akan hal itu. “aku telah benar, aku masih benar dan aku selalu benar” (Camus, 1985: 101). Meskipun dia tahu akan gagal menemukan makna lagi, dia tetap akan melakukan rutinitas itu dan menerimanya sebagai kewajaran. Sehingga makna bukan ditemukan pada tujuannya tetapi terletak pada setiap usahanya untuk menemukan makna tersebut. Untuk mengakhiri ketidakbermaknaan/absurditas itu Camus memperlihatkan dengan cara kematian.

Kematian yang menimpa Meursault ini adalah kematian yang dilakukan oleh pengadilan. Sebuah tindakan aktif yang dilakukan institusi untuk meniadakan seseorang. Penulis melihat adanya pemikiran Camus untuk mengakhiri absurditas yaitu dengan bunuh diri yang merupakan tindakan aktif secara sadar. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami tokoh Meursault. Dia dimatikan oleh pengadilan berarti perasaanya hilang. Perasaan yang dimaksud adalah perasaan absurd. Setelah perasaan absurd itu hilang, jasadnya juga ikut hilang. Sehingga ke”aku”annya hilang.

III. PENUTUP

Tokoh Meursault merupakan tipikal yang ‘sia-sia’. Dia diceritakan pengarang sebagai tokoh yang bersahaja dan selalu menerima segala sesuatu sebagai suatu kewajaran. Ketika suatu rutinitas dianggap sebagai suatu kewajaran dan nilainya sama, bahkan tidak penting, hal itu bisa dikatakan rutinitas kehidupan itu tanpa makna. Berarti hal itu dapat dikatakan bahwa tokoh Meursault menjalani kehidupan absurd. Perasaan absurd yang dialaminya membuatnya terasing dengan dirinya dan dunianya. Untuk mengakhiri keabsurditasan itu, Mersault dimatikan oleh institusi pengadilan. Sehingga perasaan absurdnya hilang dan mengakibatkan jasadnya juga ikut hilang. Setelah jasadnya hilang, hal yang membuatnya mengada ikut hilang/ ke”aku”annya sirna.

Orang seperti tokoh Meursault dengan tipikal kesia-siaan itu sudah bebas dari harapan dan tujuan. Karena sebenarnya makna hidup bukan dilihat dari tujuan dan harapannya tetapi dari setiap tindakan yang dilakukannya. Kesadarannya akan konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya. Dia akan siap hidup lagi dan menemukan makna baru meskipun dia sadar dia akan gagal, begitu seterusnya.

DAFTAR PUSTAKA

Britton, Karl. 1971. Philosophy and The Meaning of Life. London: Cambridge University Press.

Camus, Albert. 1985. Terjemahan, Orang Asing. Jakarta: Penerbit Djambatan.

…………….. 1999. Terjemahan Apsanti D. Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Solomon, Robert C., dan Higgins, Kathleen M., 2002. Alih bahasa Saut Pasaribu. Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Bentang.

http://thinker-asratisme.blogspot.com/2010/06/12/Eksistensialisme Albert Camus dalam Orang Asing

(http://en.wikipedia.org/wiki/Absurdism)

Jadikan Aku

Jadikan aku seperti burung berkelana sepanjang masa
Hinggap diantara rantingranting dedaunan yang terluka
Mencari sesuatu yang bukan fana
Sesuatu tuk tentramkan relungrelung jiwa

Jadikan aku layaknya bangkai pembusuk
Meleburkan jasad pendosa maupun ulama
Jangan jadikan diriku kutu busuk
Tanpa guna apaapa

Jadikan aku dedaunan nan hijau
Sejukkan hati yang gundah gulana
Sampai malaikatpun terpukau
Tak kuat tuk pejamkan mata

Terserahlah Kau akan jadikan aku apa
Aku tak ingin menjadi pemintaminta
Yang rakus akan dunia
Jadikan aku sebagai penerima

Anak Jalanan

Anak Jalanan

Ibuku melahirkanku di bawah kolong jembatan
Jadilah diriku anak jalanan, berkutat dalam dunia hitam,
Kulitku yang tadinya putih mulus kini menjadi hitam legam
Tapi, jangan salah! Jiwaku seputih kapas, kawan;
Putih laksana bidadari mereka pada dunia yang berbeda:
Tapi aku tetap anak jalanan yang telah kehilangan cahyanya.

Ibuku bercakap padaku di bawah kolong jembatan, itu dulu
Dan bercerita sebelum panas hari menyengat,
Ditemani indahnya gunung sampah di samping kami,
Dia letakkan daku pada pangkuanya dan menciumku, itu dulu
Entah kenapa badanku terasa hangat, mulai berkeringat,
Dan menunjuklah dia ke arah timur, mulai berkata:

“Lihatlah nak! Saat mentari menampakkan keperkasaanya: Tuhan tak tidur,
Memberikan sinarnya pada kita dan memberikan kekuatan pada kita;
Anugrah yang luar biasa tanpa bisa dihitung dengan angka.
Beragam tumbuhan, hewan, dan manusia gembira menerimanya,
Terlihat dari gurat gurat wajah mereka sebagai pertanda
Kenyamanan saat pagi tiba dan siang menjelang.

“Kita ditempatkannya pada planet ini, sebuah tempat yang sempit.
Mengais sisasisa kehidupan dan cinta yang ditinggalkan begitu saja,
Mentari tetap memberikan cahayanya pada kita,
Janganlah kau takut sengasara di dunia yang fana ini,
Lihatlah angkasa yang menjulang, gapailah citamu meski dalam mimpi,
Pandangan kedepan, lepaskan jerat tali yang melilitlilit.

“saat kau telah tahu akan arti cahaya terang benderang,
Kabut tebal akan menghilang terbawa angin kencang,
Kita seharusnya mendengar bisikan suaranya, merdu
‘keluarlah dari pergulatan pikiranmu sayangku,
Kemarilah menuju dekapan mesraku
Dan masuklah dalam istana layaknya para pencari itu.’”

Itulah yang dikatakan ibuku padaku, dan membelai rambutku
Dan itulah yang akan kukatakan pada dunia
Saat aku dari kolong jembatan, dan mereka dari gedung seberang
Bederet rapi di tepi jalan, tegak berdiri menjulang
Itulah kenyataan yang nampak kasat mata
Bersama-sama masuk dalam istana Tuhan dalam satu pintu.

Aku akan tegak berdiri, melindunginya
Menjadi sepertinya, sehingga mereka dapat mencintaiku apa adanya.


D:\data dari internet\dari blog\december2006_files\dec06lettoandkevin.jpgWhen I heard the song, “Sebelum cahaya” firstly, the song sliced into my heart like a razor-sharp blade of bamboo. The song is very very wonderful and contain of philosophical value in there. You know, my tears streamed down and made my cheek were wet. I don’t know why it can be happened. I tried to comprehend fully of the lyrics and I found the true love. It’s very beautiful lyrics that I ever heard. So, I asked to my friend who has been sung it. Oh…They are “Letto”.

Actually, not only “Sebelum Cahaya” but also all of their song are wonderful. They are different from other band. Every lyric of their songs is different and the music instruments are good and unique. I didn’t found it before. After that, I observed all of the personnel of the group band. Noe, Dedi, Arian and Patub are the four members of Letto. This band is from Jogjakarta. They are young and highly educated.

Noe, lead singer of the group, Alberta University in Edmonton, Canada for five years and it was there that he graduated with a Bachelor of Science with majors in Math and Physics. Patub is also university graduate majoring in agriculture. Dedi is currently studying at Universitas Muhammadiyah Jogjakarta. Wow….. great!!!

All their own song that collected in CD ‘Truth, Cry and Lie’ inspired me to understand my live and my creator, God. I found my real and true love, the beautiful love, is to my God. This love is unusual like the love of men and women, but more it more. The love is like thunderbolt attack my heart, the big love. I can’t to say it, and may be it could not be said. Does it ever happen to you?

Love is just happened every humans. Do you agree with me? Up to you, but I believed it. If you want to found it, the true love, you have to try and try and try until you found it. The light of love guides me to a true road. Until now, I don’t know what I found it. I will look for it and try it.

Makan Lele saja ndadak ke Boyolali


Mata kawan-kawan berbinar pagi itu, tepatnya pukul 07.00, 5 Mei. Satu demi satu dari mereka melangkahkan kakinya menuju bus yang telah siap membawanya pergi. Di pojok lain teman-teman asyik memasukkan makanan ringan ke dalam plastik. Pada sisi lain teman saya upyek mencari kawan duduk dalam bus.

“kowe jejer sapa neng”

“Saya mah duduk sama siapa aja bisa”

Begitulah mereka mengawali pembicaraannya. Ku ajak mereka masuk bus, dan duduk sesuai keinginanya. Banyak tempat kosong coi, tak masalah.

Sebenarnya acara ini merupakan mata rantai kegiatan kuliah yang pada semester ini kami ambil sebagai pengganti ujian tengah semester. “Jarang-jarang kuliah di luar kelas”, kata temen saya. Kami pun setuju. Kuliah yang lazimnya di kelas, kini pindah sehari untuk melihat dunia luar. Awalnya kami pun memilih tempat sesuai dan berhubungan dengan mata kuliah kami. Musyawarah pun digelar di saat jam kuliah kosong. Satu demi satu teman mengajukan tempat yang cocok. Alasan mengenai pemillihan tempat pun diutarakan. Satu demi satu dari mereka mencoba kuat dengan pendapatnya. Di saat kami beradu argument, teman yang lain keluar ruangan. Tempat pun fix dengan beberapa prioritas jika tempat kunjungan yang pertama tak bisa, beralih yang kedua dan seterusnya sampat yang terakhir, Selesai sudah diskusi hari itu, dan selanjutnya menyusul mengenai penetapan hari keberangkatan dan susunan panitianya.

Seminggu kemudian saat mengukuti kuliah itu, salah satu diantara kami, teman saya yang saya acungi jempol kepeduliannya terhadap kawan-kawan, memberikan coretan hasil diskusi kemarin pada dosen kami yang tercinta, katanya.

Ditataplah lembaran hasil keputusan itu. Diamati satu persatu dan dikritisinya. Ternyata semuanya tak cocok. Konon katanya dan dengan bahasa halus, beliau mengatakan tempat ini gak cocok dengan kita, ini sudah besar nanti kalo gak ketemu owner nya bagaimana, kan rugi kita, tiba-tiba bertanya tentang ini itu mereka gak bisa jawab.

Ditawarkanlah suatu tempat yang beliau anggap layak. Suatu daerah di selatan kota kami. Kami pun mengiyakan kawasan itu dengan alasan ya gimana lagi usulan kita tak disetujui.

Berangkatlah kami pagi itu. Kita tinggalkan satu mata kuliah lain, demi mengikuti field trip. Yang kami bingungkan kenapa tak gunakan hari week end, “kenapa harus jam kuliah lain?” Tanya teman saya. Kata teman saya lain, dosennya tak punya waktu, bisanya ya hari itu, selasa. “ohhh”.

Sampailah kami pada suatu tempat pemancingan dengan lahan yang kata pemiliknya seluas 5 hektar. Dari lahan seluas itu, terdapatlah lapangan woodball (salah satu cabang olahraga) yang merupakan satu-satunya di Indonesia. Kami disambut dengan dipersilahkan duduk di suatu tempat terbuka dengan dinding dari rambatan dedaunan. Di sampinya kolam lebar dengan pohon-pohon yang berbaris mengelilingi kolam ikan itu. Cahaya matahari memantulkan sinarnya lewat air kolam memenuhi atap ruangan itu, seakan ruangan itu bergoyang diterpa sinar. Mulailah seminar kecil untuk mengorek hal-hal yang berhubungan dengan tempat pemancingan itu dan usahanya. Pemiliknya menceritakan sedikit demi sedikit usaha yang digelutinya, dan disambunglah dengan acara tanya jawab.

Bincang-bincang pun selesailah. Berhubung perut kami mulai keroncongan, kami memutuskan makan terlebih dahulu. Temen saya pun kaget melihat apa yang dihidangkan pelayan. Sambil berbisik dia bertanya pada saya, “makan ini gratis, dikasih sebagi kunjungan kita, atau bayar?”

Aku pun diam saja, hanya gelengan kepala sebagai penjawabnya. “makan sajalah”, kataku.

Dia pun melanjutkan makannya. Selesai makan, kami pun berusaha menikmati pemandangan yang ada di sana. Sungai dengan kejernihan airnya mengalir mengitari tempat pemancingan itu. “Wisata alam yang sangat indah”, katanya.

Tetapi dibalik kekagumannya pada tempat itu, hatinya bergolak. Seakan-akan dia ingin menumpahkan semua unek-uneknya kepadaku. Pertanyaan demi pertanyaan memberondongku. Aku tak bisa menjawabnya, karena memang aku tak tahu bukan aku tak mau menjawabnya.

“hei, makan tadi tu bayar apa tidak sih?”

Aku terdiam.

“kata temen-temen kita gak jadi ke Solo ya setelah ini. Kenapa si diputuskan sepihak, kan kita rapatnya habis dari sini ke Solo?”

“Aku gak tahu, manut saja.”

“Gak bisa gitu dong, itu kan sudah keputusan, rugi dong saya capek-capek ke sini kalo cuma makan lele tok.”

“kamu jangan marah gitu sama saya, aku gak tahu.”

“makan saja ndadak ke Boyolali.” Tambah temen saya yang ikut nimbrung.

Tak hanya itu saja yang dikecewakan temen-temenku. Saat waktu pulang sudah mendekati tepatnya, kami pun menuju ke bus. Tapi, ada sebagian teman kami yang tidak mau pulang sekarang. Dia asyik dengan kegiatannya sendiri. Saat mereka diminta balik, ngomonglah mereka. “kita di sini itu nyewa satu hari, tidak setengah hari, rugi dong kita.”

Temen saya yang lain mengatakan kenapa kita tidak diajak melihat-lihat bagaimana tempat mengolah ikan itu, dimana dapur yang diceritakan panjang lebar itu.Semuanya hanya omongan yang berbusa-busa. Temen-temen banyak yang kecewa. Kekecewan mereka dilampiaskan dengan bentuk resistensi.

Tibalah saatnya kejadian yang tidak mengenakan terjadi. Salah satu temen saya yang tadinya saya acungi jempol mengenai keuletanya. Tiba-tiba dia marah, emosi menegang. Sampai akhirnya kata jelek muncul. “stupid” katanya.

Aku yang tadinya bangga padanya, tiba-tiba kaget.Kami kecewa sekali dengan sikapnya. Kata temen, kenapa dia harus marah-marah di depan dosen kami, masalah itu bisa diselesaikan di kampus. “Itu masalah sendiri. Jangan-jangan dia kayak gitu cari……dosen.” Ungkap temen saya.

“semuanya dia tentukan sendiri, putuskan sendiri. Yang sudah jadi kesepakatan pergi ke solo, tiba-tiba gak jadi,” uncap kekesalan temanku. “terlebih lagi makan lele saja ndadak ke Boyolali” tambahnya.

Ternyata teman-teman, pemilik usaha itu ayah dari teman dosen kami. Menurut Anda bagaimana. Pertanyaan muncul di benak teman saya yang tak berani diungkapkannya pada orang lain selain saya. Jangan-jangan, dan jangan-jangan….

Mempertanyakan Eksistensi Tuhan




Saat G 30 S/PKI bergolak, masyarakat Indonesia berbondong-bondong, beradu dan berebut memeluk agama. Entah itu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha yang penting beragama. Terlebih lagi yang terpenting KTP-nya bertuliskan punya agama. Ketakutan demi ketakutan melanda masyarakat pada waktu itu. Takut mati jika tak punya agama. Takut terkait dengan isu komunis yang gencar akan ditumpas oleh penguasa zaman itu. Masjid rame, tempat ibadah agama lain pun demikian.

Agama dijadikan tanda pengenal untuk menyelamatkan diri. Terhindar dari maut merupakan anugerah yang luar biasa waktu itu. Lalu, bagaimana dengan sekarang? Zaman di mana seseorang bebas melakukan apa saja, memeluk agama apa saja, bahkan tidak beragama pun tak dilarang. Apakah agama masih sebagai tanda pengenal belaka?

Banyak orang beragama tapi tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap agama itu. “Tahukah kamu apa itu agama? Benda macam apa dan untuk apa memiliki agama?” pertanyaan itu kulontarkan kepada temanku. Dia berbalik tanya, “punya agama nggak sih kamu, pertanyaanmu aneh”. “Punya dong, tapi saya tak tahu harus kuapakan agama saya itu. Untuk siapa dan untuk apa saya punya agama,” jawabku. Temanku pun terdiam dan meninggalkanku pergi dalam kebimbangan tentang agama, terlebih lagi tentang Tuhan.

Eksistensi Tuhan

Bicara tentang Tuhan, tak sedikit orang yang menganggap pembicaran yang berat. Sesuatu yang susah untuk diterima bagi orang yang tak mau menerimanya. “Ngapain sih ngomong soal Tuhan. Yang penting iman, melaksanakan perintahnya. Gampangkan. Tak usahlah kau bicara mengenai Tuhan. Gila ntar kau. Jangan aneh-aneh yang kau bicarakan,” kata teman saya. Kuterima saja apa yang dia bicarakan, supaya tak terjadi perdebatan. Tapi saya sangat tidak puas dengan semua yang ia katakan.

Iman yang berarti percaya, dapat dimaknai bermacam-macam. Tafsir iman tidak lagi digunakan sebagi jalan pencarian Tuhan, tapi terkadang menjadi sesuatu yang menakutkan, mengancam nyawa, sesuatu yang ekslusif, dan tak perlu dibicarakan.

Lihat saja seorang sufi Jawa, Syeh Siti Jenar, mati karena mempunyai kesimpulan sendiri tentang Tuhan. Para wali menganggap ajarannya berbahaya, sehingga ia dibunuh. “Manunggaling Kawula Gusti” merupakan ajaran yang dianggap membahayakan saat itu. Konsep penyatuan raga seorang hamba kepada Tuhan-lah yang membuat Syeh meninggalkan dunia. Mungkin, benar juga ajaran itu berbahaya bagi keimanan orang awam waktu itu. Sehingga para wali khawatir, jika masyarakat menganggap Syeh Siti Jenar sebagai Tuhan. Maka ia harus mati. Mungkin bisa dikatakan Syeh merupakan orang yang hidup di waktu yang salah. Bisa jadi.

Tapi kenapa dia harus mati? Apa salahnya berpendapat. Ia punya pendapat sendiri mengenai Tuhan yang mengusik para wali. Dan ajaranya dianggap berbahaya.

Sebenarnya tak hanya Syeh Siti Jenar yang harus mati karena punya pemikiran sendiri soal Tuhan. Mansyur Al-Hallaj adalah seorang sufi Irak yang mati dipotong-potong oleh masyarakat setempat. Ia berpendapat haji tak perlu harus ke Mekah, haji bisa dilakukan di Irak. Masyarakat tak mau menerima ajaranya, sehingga ia harus mengalami nasib yang sama seperti Syeh.

Begitu berbahayanya berbicara soal Tuhan, bisa-bisa nyawa melayang. Apalagi di zaman sekarang, lucu sekalli ketika seseorang menghakimi orag lain dengan kata-kata kamu kafir. Apakah dia Tuhan sehingga menjustifikasi orang lain dengan kata itu. Ia hujat seseorang yang memiliki perbedaan persepsi tentang Tuhan. Orang lain dianggap salah dan hanya dia yang benar. Padahal kebenaran merupakan suatu proses. Ada versi kebenaran menurutnya dan kebenaran menurut orang lain. Apalagi soal Tuhan.

Kalo saya pikir-pikir, benar juga kata Al Hallaj. Kenapa kita haji harus ke Mekah? Apakah Tuhan itu ada di Mekah, di dalam Ka’bah? Oh ternyata bukan. Kata orang, yang ada di dalam Ka’bah adalah sebuah batu. Hanya sebuah batu hitam yang dinamakan Hajar aswad. Ka’bah hanya sebuah simbol keberadaan Tuhan. Berarti, Tuhan tak ada di sana.

Kenapa seseorang harus berbondong-bondong ke sana jika Tuhan tak hanya ada di situ? Berbagai cara dilakukan untuk dapat ke Mekah. Tidak sedikit ada yang sampai berhutang, demi --jika pulang-- bisa dipanggil pak Haji ataupun bu Haji. Lucu sekali kedengarannya. Tak hanya haji, ibadah lainpun juga demikian. Rajin sholat, puasa, dll agar mendapat julukan alim.

Ragu

“Segala sesuatu harus diragukan (De Omnibus Debutandum),” kata Rene Descartes. Islam-pun bicara bahwa keraguan, kebimbangan, harus segera ditinggalkan. Bukankah begitu? Bagaimana jika meragukan eksistensi Tuhan? Apakah saya harus meninggalkanya? “Tinggalkan, tinggalkan semua jika kau ragu, tak usah sholat, puasa, atau yang lain,” kata teman saya itu. “Sebelum kamu yakin bahwa Tuhan ada, tinggalkan saja. Kecuali jika kamu telah yakin. Karena kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Jika tak ragu berarti kamu yakin,” tambahnya tanpa mau disela.

Jelas saya yakin, Tuhan itu ada. Buktinya ada saya, kamu, dunia ini, dari mana datangnya jika tak ada yang menciptakan. Yang saya bingungkan dimana Tuhan? “Kalo soal itu jangan tanya aku, aku sendiri tak tahu.” Jawab teman saya sambil garu-garuk kepalanya. Wah saya harus tanya sama siapa ya? Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tahu di mana Tuhan berada?

Penting mungkin jika seseorang tahu di mana Tuhannya sebagai cara menghilangkan keraguannya. Seseorang mungkin akan senang jika mengenal Tuhanya. Sebuah pepatah mengatakan,”Tak kenal maka tak sayang”. Hidup serasa hampa jika tak mengenal seseorang yang dicintainya. Tak ada gunanya mungkin. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah mengenal Tuhan Anda?

Cinta

Saya teringat dengan sebuah lirik lagu yang dinyanyikan Grub Band Dewa. “Jika Surga dan Neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya.” Kira-kira seperti itu bunyinya. Lagu itu menggelayuti pikiran saya. Bagaimana jika lagu itu terbukti benar. Tapi toh Tuhan tidak demikian. Tuhan tetap menciptakan Surga dan Neraka sebagai balasan terhadap hambanya. ”Aku tak butuh kamu menyembahKu” kata Tuhan. “Jika Aku memang butuh, bisa saja Aku menjadikan kamu semua bersujud kepadaKu”.

Mengutip perkataan sufi perempuan. “Aku beribadah kepada Allah bukan karena aku takut pada neraka. Sebab bila aku demikian maka aku akan sia-sia. Tidak pula aku beribadah karena keinginan masuk surga, sebab bila demikian aku bagaikan seorang budak yang menginginkan imbalan atas semua kerjaku. Tetapi aku beribadah karena cintaku kepada Allah dan aku selalu menginginkanNya,” (Rabiah al Adawiyah)

Bagaimana dengan Anda, Apakah yang Anda lakukan selama ini, beribadah hanya untuk mendapat sorga dan Neraka tanpa didasari cinta padaNya. Semua terserah Anda.

Menutup tulisan saya, teman saya pernah berkata. “Syariat tanpa hakikat adalah kosong, sedangkan hakikat tanpa syariat tak akan sampai”. Benarkah demikian?***