Makan Lele saja ndadak ke Boyolali


Mata kawan-kawan berbinar pagi itu, tepatnya pukul 07.00, 5 Mei. Satu demi satu dari mereka melangkahkan kakinya menuju bus yang telah siap membawanya pergi. Di pojok lain teman-teman asyik memasukkan makanan ringan ke dalam plastik. Pada sisi lain teman saya upyek mencari kawan duduk dalam bus.

“kowe jejer sapa neng”

“Saya mah duduk sama siapa aja bisa”

Begitulah mereka mengawali pembicaraannya. Ku ajak mereka masuk bus, dan duduk sesuai keinginanya. Banyak tempat kosong coi, tak masalah.

Sebenarnya acara ini merupakan mata rantai kegiatan kuliah yang pada semester ini kami ambil sebagai pengganti ujian tengah semester. “Jarang-jarang kuliah di luar kelas”, kata temen saya. Kami pun setuju. Kuliah yang lazimnya di kelas, kini pindah sehari untuk melihat dunia luar. Awalnya kami pun memilih tempat sesuai dan berhubungan dengan mata kuliah kami. Musyawarah pun digelar di saat jam kuliah kosong. Satu demi satu teman mengajukan tempat yang cocok. Alasan mengenai pemillihan tempat pun diutarakan. Satu demi satu dari mereka mencoba kuat dengan pendapatnya. Di saat kami beradu argument, teman yang lain keluar ruangan. Tempat pun fix dengan beberapa prioritas jika tempat kunjungan yang pertama tak bisa, beralih yang kedua dan seterusnya sampat yang terakhir, Selesai sudah diskusi hari itu, dan selanjutnya menyusul mengenai penetapan hari keberangkatan dan susunan panitianya.

Seminggu kemudian saat mengukuti kuliah itu, salah satu diantara kami, teman saya yang saya acungi jempol kepeduliannya terhadap kawan-kawan, memberikan coretan hasil diskusi kemarin pada dosen kami yang tercinta, katanya.

Ditataplah lembaran hasil keputusan itu. Diamati satu persatu dan dikritisinya. Ternyata semuanya tak cocok. Konon katanya dan dengan bahasa halus, beliau mengatakan tempat ini gak cocok dengan kita, ini sudah besar nanti kalo gak ketemu owner nya bagaimana, kan rugi kita, tiba-tiba bertanya tentang ini itu mereka gak bisa jawab.

Ditawarkanlah suatu tempat yang beliau anggap layak. Suatu daerah di selatan kota kami. Kami pun mengiyakan kawasan itu dengan alasan ya gimana lagi usulan kita tak disetujui.

Berangkatlah kami pagi itu. Kita tinggalkan satu mata kuliah lain, demi mengikuti field trip. Yang kami bingungkan kenapa tak gunakan hari week end, “kenapa harus jam kuliah lain?” Tanya teman saya. Kata teman saya lain, dosennya tak punya waktu, bisanya ya hari itu, selasa. “ohhh”.

Sampailah kami pada suatu tempat pemancingan dengan lahan yang kata pemiliknya seluas 5 hektar. Dari lahan seluas itu, terdapatlah lapangan woodball (salah satu cabang olahraga) yang merupakan satu-satunya di Indonesia. Kami disambut dengan dipersilahkan duduk di suatu tempat terbuka dengan dinding dari rambatan dedaunan. Di sampinya kolam lebar dengan pohon-pohon yang berbaris mengelilingi kolam ikan itu. Cahaya matahari memantulkan sinarnya lewat air kolam memenuhi atap ruangan itu, seakan ruangan itu bergoyang diterpa sinar. Mulailah seminar kecil untuk mengorek hal-hal yang berhubungan dengan tempat pemancingan itu dan usahanya. Pemiliknya menceritakan sedikit demi sedikit usaha yang digelutinya, dan disambunglah dengan acara tanya jawab.

Bincang-bincang pun selesailah. Berhubung perut kami mulai keroncongan, kami memutuskan makan terlebih dahulu. Temen saya pun kaget melihat apa yang dihidangkan pelayan. Sambil berbisik dia bertanya pada saya, “makan ini gratis, dikasih sebagi kunjungan kita, atau bayar?”

Aku pun diam saja, hanya gelengan kepala sebagai penjawabnya. “makan sajalah”, kataku.

Dia pun melanjutkan makannya. Selesai makan, kami pun berusaha menikmati pemandangan yang ada di sana. Sungai dengan kejernihan airnya mengalir mengitari tempat pemancingan itu. “Wisata alam yang sangat indah”, katanya.

Tetapi dibalik kekagumannya pada tempat itu, hatinya bergolak. Seakan-akan dia ingin menumpahkan semua unek-uneknya kepadaku. Pertanyaan demi pertanyaan memberondongku. Aku tak bisa menjawabnya, karena memang aku tak tahu bukan aku tak mau menjawabnya.

“hei, makan tadi tu bayar apa tidak sih?”

Aku terdiam.

“kata temen-temen kita gak jadi ke Solo ya setelah ini. Kenapa si diputuskan sepihak, kan kita rapatnya habis dari sini ke Solo?”

“Aku gak tahu, manut saja.”

“Gak bisa gitu dong, itu kan sudah keputusan, rugi dong saya capek-capek ke sini kalo cuma makan lele tok.”

“kamu jangan marah gitu sama saya, aku gak tahu.”

“makan saja ndadak ke Boyolali.” Tambah temen saya yang ikut nimbrung.

Tak hanya itu saja yang dikecewakan temen-temenku. Saat waktu pulang sudah mendekati tepatnya, kami pun menuju ke bus. Tapi, ada sebagian teman kami yang tidak mau pulang sekarang. Dia asyik dengan kegiatannya sendiri. Saat mereka diminta balik, ngomonglah mereka. “kita di sini itu nyewa satu hari, tidak setengah hari, rugi dong kita.”

Temen saya yang lain mengatakan kenapa kita tidak diajak melihat-lihat bagaimana tempat mengolah ikan itu, dimana dapur yang diceritakan panjang lebar itu.Semuanya hanya omongan yang berbusa-busa. Temen-temen banyak yang kecewa. Kekecewan mereka dilampiaskan dengan bentuk resistensi.

Tibalah saatnya kejadian yang tidak mengenakan terjadi. Salah satu temen saya yang tadinya saya acungi jempol mengenai keuletanya. Tiba-tiba dia marah, emosi menegang. Sampai akhirnya kata jelek muncul. “stupid” katanya.

Aku yang tadinya bangga padanya, tiba-tiba kaget.Kami kecewa sekali dengan sikapnya. Kata temen, kenapa dia harus marah-marah di depan dosen kami, masalah itu bisa diselesaikan di kampus. “Itu masalah sendiri. Jangan-jangan dia kayak gitu cari……dosen.” Ungkap temen saya.

“semuanya dia tentukan sendiri, putuskan sendiri. Yang sudah jadi kesepakatan pergi ke solo, tiba-tiba gak jadi,” uncap kekesalan temanku. “terlebih lagi makan lele saja ndadak ke Boyolali” tambahnya.

Ternyata teman-teman, pemilik usaha itu ayah dari teman dosen kami. Menurut Anda bagaimana. Pertanyaan muncul di benak teman saya yang tak berani diungkapkannya pada orang lain selain saya. Jangan-jangan, dan jangan-jangan….