Mempertanyakan Eksistensi Tuhan




Saat G 30 S/PKI bergolak, masyarakat Indonesia berbondong-bondong, beradu dan berebut memeluk agama. Entah itu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha yang penting beragama. Terlebih lagi yang terpenting KTP-nya bertuliskan punya agama. Ketakutan demi ketakutan melanda masyarakat pada waktu itu. Takut mati jika tak punya agama. Takut terkait dengan isu komunis yang gencar akan ditumpas oleh penguasa zaman itu. Masjid rame, tempat ibadah agama lain pun demikian.

Agama dijadikan tanda pengenal untuk menyelamatkan diri. Terhindar dari maut merupakan anugerah yang luar biasa waktu itu. Lalu, bagaimana dengan sekarang? Zaman di mana seseorang bebas melakukan apa saja, memeluk agama apa saja, bahkan tidak beragama pun tak dilarang. Apakah agama masih sebagai tanda pengenal belaka?

Banyak orang beragama tapi tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap agama itu. “Tahukah kamu apa itu agama? Benda macam apa dan untuk apa memiliki agama?” pertanyaan itu kulontarkan kepada temanku. Dia berbalik tanya, “punya agama nggak sih kamu, pertanyaanmu aneh”. “Punya dong, tapi saya tak tahu harus kuapakan agama saya itu. Untuk siapa dan untuk apa saya punya agama,” jawabku. Temanku pun terdiam dan meninggalkanku pergi dalam kebimbangan tentang agama, terlebih lagi tentang Tuhan.

Eksistensi Tuhan

Bicara tentang Tuhan, tak sedikit orang yang menganggap pembicaran yang berat. Sesuatu yang susah untuk diterima bagi orang yang tak mau menerimanya. “Ngapain sih ngomong soal Tuhan. Yang penting iman, melaksanakan perintahnya. Gampangkan. Tak usahlah kau bicara mengenai Tuhan. Gila ntar kau. Jangan aneh-aneh yang kau bicarakan,” kata teman saya. Kuterima saja apa yang dia bicarakan, supaya tak terjadi perdebatan. Tapi saya sangat tidak puas dengan semua yang ia katakan.

Iman yang berarti percaya, dapat dimaknai bermacam-macam. Tafsir iman tidak lagi digunakan sebagi jalan pencarian Tuhan, tapi terkadang menjadi sesuatu yang menakutkan, mengancam nyawa, sesuatu yang ekslusif, dan tak perlu dibicarakan.

Lihat saja seorang sufi Jawa, Syeh Siti Jenar, mati karena mempunyai kesimpulan sendiri tentang Tuhan. Para wali menganggap ajarannya berbahaya, sehingga ia dibunuh. “Manunggaling Kawula Gusti” merupakan ajaran yang dianggap membahayakan saat itu. Konsep penyatuan raga seorang hamba kepada Tuhan-lah yang membuat Syeh meninggalkan dunia. Mungkin, benar juga ajaran itu berbahaya bagi keimanan orang awam waktu itu. Sehingga para wali khawatir, jika masyarakat menganggap Syeh Siti Jenar sebagai Tuhan. Maka ia harus mati. Mungkin bisa dikatakan Syeh merupakan orang yang hidup di waktu yang salah. Bisa jadi.

Tapi kenapa dia harus mati? Apa salahnya berpendapat. Ia punya pendapat sendiri mengenai Tuhan yang mengusik para wali. Dan ajaranya dianggap berbahaya.

Sebenarnya tak hanya Syeh Siti Jenar yang harus mati karena punya pemikiran sendiri soal Tuhan. Mansyur Al-Hallaj adalah seorang sufi Irak yang mati dipotong-potong oleh masyarakat setempat. Ia berpendapat haji tak perlu harus ke Mekah, haji bisa dilakukan di Irak. Masyarakat tak mau menerima ajaranya, sehingga ia harus mengalami nasib yang sama seperti Syeh.

Begitu berbahayanya berbicara soal Tuhan, bisa-bisa nyawa melayang. Apalagi di zaman sekarang, lucu sekalli ketika seseorang menghakimi orag lain dengan kata-kata kamu kafir. Apakah dia Tuhan sehingga menjustifikasi orang lain dengan kata itu. Ia hujat seseorang yang memiliki perbedaan persepsi tentang Tuhan. Orang lain dianggap salah dan hanya dia yang benar. Padahal kebenaran merupakan suatu proses. Ada versi kebenaran menurutnya dan kebenaran menurut orang lain. Apalagi soal Tuhan.

Kalo saya pikir-pikir, benar juga kata Al Hallaj. Kenapa kita haji harus ke Mekah? Apakah Tuhan itu ada di Mekah, di dalam Ka’bah? Oh ternyata bukan. Kata orang, yang ada di dalam Ka’bah adalah sebuah batu. Hanya sebuah batu hitam yang dinamakan Hajar aswad. Ka’bah hanya sebuah simbol keberadaan Tuhan. Berarti, Tuhan tak ada di sana.

Kenapa seseorang harus berbondong-bondong ke sana jika Tuhan tak hanya ada di situ? Berbagai cara dilakukan untuk dapat ke Mekah. Tidak sedikit ada yang sampai berhutang, demi --jika pulang-- bisa dipanggil pak Haji ataupun bu Haji. Lucu sekali kedengarannya. Tak hanya haji, ibadah lainpun juga demikian. Rajin sholat, puasa, dll agar mendapat julukan alim.

Ragu

“Segala sesuatu harus diragukan (De Omnibus Debutandum),” kata Rene Descartes. Islam-pun bicara bahwa keraguan, kebimbangan, harus segera ditinggalkan. Bukankah begitu? Bagaimana jika meragukan eksistensi Tuhan? Apakah saya harus meninggalkanya? “Tinggalkan, tinggalkan semua jika kau ragu, tak usah sholat, puasa, atau yang lain,” kata teman saya itu. “Sebelum kamu yakin bahwa Tuhan ada, tinggalkan saja. Kecuali jika kamu telah yakin. Karena kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Jika tak ragu berarti kamu yakin,” tambahnya tanpa mau disela.

Jelas saya yakin, Tuhan itu ada. Buktinya ada saya, kamu, dunia ini, dari mana datangnya jika tak ada yang menciptakan. Yang saya bingungkan dimana Tuhan? “Kalo soal itu jangan tanya aku, aku sendiri tak tahu.” Jawab teman saya sambil garu-garuk kepalanya. Wah saya harus tanya sama siapa ya? Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tahu di mana Tuhan berada?

Penting mungkin jika seseorang tahu di mana Tuhannya sebagai cara menghilangkan keraguannya. Seseorang mungkin akan senang jika mengenal Tuhanya. Sebuah pepatah mengatakan,”Tak kenal maka tak sayang”. Hidup serasa hampa jika tak mengenal seseorang yang dicintainya. Tak ada gunanya mungkin. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah mengenal Tuhan Anda?

Cinta

Saya teringat dengan sebuah lirik lagu yang dinyanyikan Grub Band Dewa. “Jika Surga dan Neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya.” Kira-kira seperti itu bunyinya. Lagu itu menggelayuti pikiran saya. Bagaimana jika lagu itu terbukti benar. Tapi toh Tuhan tidak demikian. Tuhan tetap menciptakan Surga dan Neraka sebagai balasan terhadap hambanya. ”Aku tak butuh kamu menyembahKu” kata Tuhan. “Jika Aku memang butuh, bisa saja Aku menjadikan kamu semua bersujud kepadaKu”.

Mengutip perkataan sufi perempuan. “Aku beribadah kepada Allah bukan karena aku takut pada neraka. Sebab bila aku demikian maka aku akan sia-sia. Tidak pula aku beribadah karena keinginan masuk surga, sebab bila demikian aku bagaikan seorang budak yang menginginkan imbalan atas semua kerjaku. Tetapi aku beribadah karena cintaku kepada Allah dan aku selalu menginginkanNya,” (Rabiah al Adawiyah)

Bagaimana dengan Anda, Apakah yang Anda lakukan selama ini, beribadah hanya untuk mendapat sorga dan Neraka tanpa didasari cinta padaNya. Semua terserah Anda.

Menutup tulisan saya, teman saya pernah berkata. “Syariat tanpa hakikat adalah kosong, sedangkan hakikat tanpa syariat tak akan sampai”. Benarkah demikian?***

Sublimasi hati


Jarum jam telah menunjuk angka tepat pukul dua belas titik nolnol. Burung hantu mulai keluar dari sarangnya sekedar mencari makan mengisi perutnya. Suaranya membuat bulu kudukku berdiri, dan matanya menyiratkan sesuatu hal yang bukan biasa akan terjadi, saat kuintip dia dari jendela kamarku. Dia menapakkan kaki mungilnya dan mencengkeram ranting pohon samping rumah sambil pandangannya menyelidik dan mengawasi mangsa naas lewat. Pemandangan seperti ini tak jarang ditemui di desaku saat tengah malam tiba. Tapi, malam ini sama sekali berbeda, perasaanku tak enak, mataku tak bisa terpejam, telah kucoba berkali kali mengatupkan keduanya tapi sungguh tak bisa. Seperti ada yang mengganjal di mata sayuku. Ku bangunkan ibunya anakku dan kuceritakan kegelisahanku.

“pak, mungkin itu karena mimpi bapak kemarin, tak usah dipikir kan hanya mimpi to ya, lagian suara burung hantu kan dah biasa, bapak jangan berpikir negatif lah, nanti beneran terjadi lho.”

“Perasaanku sungguh tak enak bu malam ini, mimpi itu seperti nyata, kurasa ini firasat ya ini memang pertanda.”

Istriku tak menggubris perkataanku, dia kembali membaringkan badannya sambil berkata

‘’pak tidur saja, itu hanya mimpi”

***

Warga berbondong-bondong datang ke rumah. Di tangan Mereka menenteng balok kayu, sambil berteriak teriak. Kuintip dari kamar, mata mereka merah seperti orang yang mabuk, kesetanan. Kata kata yang keluar dari mulut merekapun tak enak didengar. Mereka menyuruh diriku dan seisi rumah keluar. Aku jelas tak berani tho ya, meskipun aku tak tahu apa salahku dan aku merasa tak bersalah, tapi ketakutan itu menyelimuti tubuhku dan menahan kakiku tuk melangkah keluar rumah. Batu sebesar bola kasti, yang mereka ambil dari pinggir jalan, dilemparkan ke rumahku, ke jendela rumahku. Istriku yang telah terbangun ketakutan, airmatanya mengalir, dan anakku yang baru berusia tiga tahun mengangis. “pak, bapak salah apa, ha…”

“aku tak tahu bu, tak mengerti mengapa mereka berbuat demikian, ibu tenang, bapak cari akal. Kita akan keluar dari sini.”

Suara yang dilontarkan mereka tak begitu jelas, tak terus beralun dan seketika itu diriku terbangun kaget. Seketika itu, istriku yang tidur di sampingku ikut juga terbangun.

***

Mimpiku memang realita, lebih mengerikan malah. Tepat pukul satu malam tragedi itu berawal. Warga desa mendatangi rumahku, mengacung-acungkan kayu, melempari jendelaku dengan batu. Suasana begitu mencekam. Dipentung-pentungkannya kayu itu ke pagar rumahku. Aku sungguh tak mengerti, mengapa, mengapa mereka melakukan semua ini? Teriakanya meraung-raung memecah kesunyian malam. “Habisi saja penganut aliran sesat ini, bakar saja rumahnya.” Suara itu terdengar jelas di kepalaku tanpa henti.

Istriku antara tak sadar dan sadar menghampiriku yang sedang mengintip dari balik jendela. Wajahnya terlihat pucat, ketakutan. Dia gugup, kenbingungan apa yang hendak dilakukan. Anakku yang menangis, segera digendongnya dan ditenangkanya. Untunglah tangis anakku segera berhenti, kuraih semata wayangku, lalu kusuruh ibunya mengambil beberapa potong pakaian anakku, satu setel pakaianku dan pakaiannya dari dalam lemari tak jauh dari pintu keluar kamar.

“Kita harus segera keluar dari sini. Bagimanapun caranya. Kita lewat pintu belakang. Tundukkan kepalamu jangan sampe mereka tahu kita keluar rumah.”

Istriku segera melakukan apa yang kuperintahkan tanpa membantah sedikitpun. Suasana semakin genting. Jendela kaca rumahku semuanya pecah. Pagar rumahku hampir roboh. Sebelum segera keluar kuintip lagi, dan ternyata. Aku sangat kaget. Seorang ulama yang sangat kukenal juga berada di sana. Tapi aku segera beranjak, kutundukkan kepalaku supaya mereka tak melihatku keluar rumah. Aku mengendap-endap beserta istriku dan anakku di gendonganku, mencoba menyelamatkan diri dari maut yang sudah ada di depan mata. Aku berhasil keluar rumah tanpa sepengetahuan mereka.

Dari jauh kudengar suara sirine mobil polisi menuju ke rumah. Kutetapkan langkahku semakin cepat, tanpa kugubris suara itu. Istriku juga melaju kencang di depanku. Aku menuju kediaman mertuaku, tak jauh dari rumahku, sekitar dua kilometer jaraknya. Tak lama kemudian sampailah kami didepan pintu kediaman mertuaku. Isteriku segera mengetok pintu meski tengah malam. Sekitar pukul tiga. Ibu mempersilakan kami masuk.

***

Polisi mencoba menenangkan warga. Warga yang naik pitam, kesetanan, alias lupa daratan belum bisa dikendalikan. Pagar rumah telah dirobohkan. Menerobos masuk ke teras rumah. Tak lama kemudian massapun reda. Entah siapa yang membuat mereka mengehentikan aksi bejatnya. Entah polisi, entah malaikat, atau mereka telah capai berteriak-teriak dan menuruti nafsu yang bergolak. Warga pulang ke rumah masingmasing setelah memuaskan hasratnya.

Polisi memasang garis kuning pembatas melingkari rumahku. Untunglah polisi segera datang. Rumahku tak jadi dilahap api. Tapi, kenapa polisi selalu datang setelah peristiwa mengejutkan itu telah terjadi. Semuanya telah rusak. Kerugian kutanggung begitu besar hingga nafasku sesak. Bukan materi tapi psikologi. Bagaimana memulihkan anakku yang berusia tiga tahun melihat kejadian itu secara langsung, ditambah lagi dialami oleh dia sendiri dan keluarganya. Meskipun begitu, terimakasih banyak kuucapkan kepada polisi menggagalkan pembakaran rumahku.

***

Ibu dan bapak kemudian bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Di ruang keluarga kami bicara. Anakku yang tertidur karena telah lelah menangis sepanjang perjalanan kubaringkan pada kursi sudut dekat aku duduk. Istriku terdiam tanpa mengeluarkan suara hanya memandang ke arahku saat ibu dan bapak bertanya. Kuceritakan semua apa yang terjadi tengah malam itu. Bagaimana warga merusak rumahku dan teriakan mereka yang menggelegar bagai petir.

“Kulo nggih mboten ngertos pak, kulo mboten nate nyalahi tiyang sanes. Warga nggih biasa-biasa dumatheng kulo. Tapi, ndalu puniko kulo mboten ngerti.”

“ra mungkin, rak ono opo-opo warga biso ngrusak omahmu.”

“hanggih, saking omongane, kulo dituduh penganut aliran ‘sesat’.”

Mendengar kata sesat, bapak sedikit naik pitam.

“Saenak udele dewe ngecap wong sesat. Deweke sing sesat, ora pantes duwe agama tapi kelakuane ngluwehi wong sing rak duwe agama. Atine wis ilang katutan angin. Kowe nglakoni opo awe tho kok dituduh sesat.”

“sami kaliyan sanes. Mboten nglakoni napa kemawon pak. Kulo memang berbeda penafsiran tengtang yang di sana. Tapi salahkah saya jika saya berbeda.”

Karena masih teringat kejadian tadi malam, omonganku jadi campur aduk, kadang Jawa campur Indonesia. Malampun berganti, fajar menyingsing, matahari mulai menampakkan wajahnya. Mentari bersinar cerah, dan diriku tetap saja lemah. Tragedi malam itu membuatku merenung, berpikir apa sebenarnya kesalahanku. Kenapa mereka mengataiku sebagai penganut aliran ‘sesat’. Aku sungguh tak mengerti mengapa itu terjadi. Mengapa mereka tak menanyaiku terlebih dahulu? Mengapa tak mengajakku duduk bersama jika aku memang salah? Mengapa mereka langsung, tanpa diduga me….. Kejadian malam itu begitu mengerikan.

Apakah salah jika diriku berpikir tentang Tuhan? Apakah salah jika aku berbeda dengan mereka? Bukankah perbedaaan adalah fitrah dari yang Maha Pencipta? Aku bukan penganut aliran sesat. Aku hanya mencoba mengenal Tuhanku, moncoba mencari tahu dimana Dia, sehingga aku bisa dekat denganNya.

Begitu berbahayanya ketika seseorang memiliki pikiran sendiri tentang Tuhan. Tafsir iman tidak lagi digunakan sebagai jalan pencarian Tuhan, tapi terkadang menjadi sesuatu yang menakutkan, mengancam nyawa . Sesuatu yang ekslusif dan tak perlu dibicarakan. Apalagi di zaman sekarang.

Persis yang kualami malam itu. Mereka beralih rupa turun sebagai prajurit Tuhan, menghakimi, menghujatku atas nama membela Tuhan. Membela agama. Membela kebenaran. Tapi kebenaran yang mana? Kebenaran siapa?

Satu Muara

Tak suka aku kau paksa tuk sama
Kau punya jalan sendiri tuk capai muara
Jalanku dan jalanmu sama sekali berbeda
Tapi, muaranya ku yakin sama

Bukankah pepat pernah berkata
"Banyak jalan menuju Roma"
Biar jalan kita berbeda
Asalkan nantinya kitakan bertemu juga
Di istana terindah tak ada duanya
Dalam singgasana megah milik rajadiraja
Dan kita akan bercerita tentang keindahan dan cinta