Jarum jam telah menunjuk angka tepat pukul dua belas titik nolnol. Burung hantu mulai keluar dari sarangnya sekedar mencari makan mengisi perutnya. Suaranya membuat bulu kudukku berdiri, dan matanya menyiratkan sesuatu hal yang bukan biasa akan terjadi, saat kuintip dia dari jendela kamarku. Dia menapakkan kaki mungilnya dan mencengkeram ranting pohon samping rumah sambil pandangannya menyelidik dan mengawasi mangsa naas lewat. Pemandangan seperti ini tak jarang ditemui di desaku saat tengah malam tiba. Tapi, malam ini sama sekali berbeda, perasaanku tak enak, mataku tak bisa terpejam, telah kucoba berkali kali mengatupkan keduanya tapi sungguh tak bisa. Seperti ada yang mengganjal di mata sayuku. Ku bangunkan ibunya anakku dan kuceritakan kegelisahanku.
“pak, mungkin itu karena mimpi bapak kemarin, tak usah dipikir kan hanya mimpi to ya, lagian suara burung hantu kan dah biasa, bapak jangan berpikir negatif lah, nanti beneran terjadi lho.”
“Perasaanku sungguh tak enak bu malam ini, mimpi itu seperti nyata, kurasa ini firasat ya ini memang pertanda.”
Istriku tak menggubris perkataanku, dia kembali membaringkan badannya sambil berkata
‘’pak tidur saja, itu hanya mimpi”
***
Warga berbondong-bondong datang ke rumah. Di tangan Mereka menenteng balok kayu, sambil berteriak teriak. Kuintip dari kamar, mata mereka merah seperti orang yang mabuk, kesetanan. Kata kata yang keluar dari mulut merekapun tak enak didengar. Mereka menyuruh diriku dan seisi rumah keluar. Aku jelas tak berani tho ya, meskipun aku tak tahu apa salahku dan aku merasa tak bersalah, tapi ketakutan itu menyelimuti tubuhku dan menahan kakiku tuk melangkah keluar rumah. Batu sebesar bola kasti, yang mereka ambil dari pinggir jalan, dilemparkan ke rumahku, ke jendela rumahku. Istriku yang telah terbangun ketakutan, airmatanya mengalir, dan anakku yang baru berusia tiga tahun mengangis. “pak, bapak salah apa, ha…”
“aku tak tahu bu, tak mengerti mengapa mereka berbuat demikian, ibu tenang, bapak cari akal. Kita akan keluar dari sini.”
Suara yang dilontarkan mereka tak begitu jelas, tak terus beralun dan seketika itu diriku terbangun kaget. Seketika itu, istriku yang tidur di sampingku ikut juga terbangun.
***
Mimpiku memang realita, lebih mengerikan malah. Tepat pukul satu malam tragedi itu berawal. Warga desa mendatangi rumahku, mengacung-acungkan kayu, melempari jendelaku dengan batu. Suasana begitu mencekam. Dipentung-pentungkannya kayu itu ke pagar rumahku. Aku sungguh tak mengerti, mengapa, mengapa mereka melakukan semua ini? Teriakanya meraung-raung memecah kesunyian malam. “Habisi saja penganut aliran sesat ini, bakar saja rumahnya.” Suara itu terdengar jelas di kepalaku tanpa henti.
Istriku antara tak sadar dan sadar menghampiriku yang sedang mengintip dari balik jendela. Wajahnya terlihat pucat, ketakutan. Dia gugup, kenbingungan apa yang hendak dilakukan. Anakku yang menangis, segera digendongnya dan ditenangkanya. Untunglah tangis anakku segera berhenti, kuraih semata wayangku, lalu kusuruh ibunya mengambil beberapa potong pakaian anakku, satu setel pakaianku dan pakaiannya dari dalam lemari tak jauh dari pintu keluar kamar.
“Kita harus segera keluar dari sini. Bagimanapun caranya. Kita lewat pintu belakang. Tundukkan kepalamu jangan sampe mereka tahu kita keluar rumah.”
Istriku segera melakukan apa yang kuperintahkan tanpa membantah sedikitpun. Suasana semakin genting. Jendela kaca rumahku semuanya pecah. Pagar rumahku hampir roboh. Sebelum segera keluar kuintip lagi, dan ternyata. Aku sangat kaget. Seorang ulama yang sangat kukenal juga berada di sana. Tapi aku segera beranjak, kutundukkan kepalaku supaya mereka tak melihatku keluar rumah. Aku mengendap-endap beserta istriku dan anakku di gendonganku, mencoba menyelamatkan diri dari maut yang sudah ada di depan mata. Aku berhasil keluar rumah tanpa sepengetahuan mereka.
Dari jauh kudengar suara sirine mobil polisi menuju ke rumah. Kutetapkan langkahku semakin cepat, tanpa kugubris suara itu. Istriku juga melaju kencang di depanku. Aku menuju kediaman mertuaku, tak jauh dari rumahku, sekitar dua kilometer jaraknya. Tak lama kemudian sampailah kami didepan pintu kediaman mertuaku. Isteriku segera mengetok pintu meski tengah malam. Sekitar pukul tiga. Ibu mempersilakan kami masuk.
***
Polisi mencoba menenangkan warga. Warga yang naik pitam, kesetanan, alias lupa daratan belum bisa dikendalikan. Pagar rumah telah dirobohkan. Menerobos masuk ke teras rumah. Tak lama kemudian massapun reda. Entah siapa yang membuat mereka mengehentikan aksi bejatnya. Entah polisi, entah malaikat, atau mereka telah capai berteriak-teriak dan menuruti nafsu yang bergolak. Warga pulang ke rumah masingmasing setelah memuaskan hasratnya.
Polisi memasang garis kuning pembatas melingkari rumahku. Untunglah polisi segera datang. Rumahku tak jadi dilahap api. Tapi, kenapa polisi selalu datang setelah peristiwa mengejutkan itu telah terjadi. Semuanya telah rusak. Kerugian kutanggung begitu besar hingga nafasku sesak. Bukan materi tapi psikologi. Bagaimana memulihkan anakku yang berusia tiga tahun melihat kejadian itu secara langsung, ditambah lagi dialami oleh dia sendiri dan keluarganya. Meskipun begitu, terimakasih banyak kuucapkan kepada polisi menggagalkan pembakaran rumahku.
***
Ibu dan bapak kemudian bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Di ruang keluarga kami bicara. Anakku yang tertidur karena telah lelah menangis sepanjang perjalanan kubaringkan pada kursi sudut dekat aku duduk. Istriku terdiam tanpa mengeluarkan suara hanya memandang ke arahku saat ibu dan bapak bertanya. Kuceritakan semua apa yang terjadi tengah malam itu. Bagaimana warga merusak rumahku dan teriakan mereka yang menggelegar bagai petir.
“Kulo nggih mboten ngertos pak, kulo mboten nate nyalahi tiyang sanes. Warga nggih biasa-biasa dumatheng kulo. Tapi, ndalu puniko kulo mboten ngerti.”
“ra mungkin, rak ono opo-opo warga biso ngrusak omahmu.”
“hanggih, saking omongane, kulo dituduh penganut aliran ‘sesat’.”
Mendengar kata sesat, bapak sedikit naik pitam.
“Saenak udele dewe ngecap wong sesat. Deweke sing sesat, ora pantes duwe agama tapi kelakuane ngluwehi wong sing rak duwe agama. Atine wis ilang katutan angin. Kowe nglakoni opo awe tho kok dituduh sesat.”
“sami kaliyan sanes. Mboten nglakoni napa kemawon pak. Kulo memang berbeda penafsiran tengtang yang di sana. Tapi salahkah saya jika saya berbeda.”
Karena masih teringat kejadian tadi malam, omonganku jadi campur aduk, kadang Jawa campur Indonesia. Malampun berganti, fajar menyingsing, matahari mulai menampakkan wajahnya. Mentari bersinar cerah, dan diriku tetap saja lemah. Tragedi malam itu membuatku merenung, berpikir apa sebenarnya kesalahanku. Kenapa mereka mengataiku sebagai penganut aliran ‘sesat’. Aku sungguh tak mengerti mengapa itu terjadi. Mengapa mereka tak menanyaiku terlebih dahulu? Mengapa tak mengajakku duduk bersama jika aku memang salah? Mengapa mereka langsung, tanpa diduga me….. Kejadian malam itu begitu mengerikan.
Apakah salah jika diriku berpikir tentang Tuhan? Apakah salah jika aku berbeda dengan mereka? Bukankah perbedaaan adalah fitrah dari yang Maha Pencipta? Aku bukan penganut aliran sesat. Aku hanya mencoba mengenal Tuhanku, moncoba mencari tahu dimana Dia, sehingga aku bisa dekat denganNya.
Begitu berbahayanya ketika seseorang memiliki pikiran sendiri tentang Tuhan. Tafsir iman tidak lagi digunakan sebagai jalan pencarian Tuhan, tapi terkadang menjadi sesuatu yang menakutkan, mengancam nyawa . Sesuatu yang ekslusif dan tak perlu dibicarakan. Apalagi di zaman sekarang.
Persis yang kualami malam itu. Mereka beralih rupa turun sebagai prajurit Tuhan, menghakimi, menghujatku atas nama membela Tuhan. Membela agama. Membela kebenaran. Tapi kebenaran yang mana? Kebenaran siapa?
0 Comments:
my picture

smile is worship