Oleh Eka Harisma W.

Disusun untuk diskusi bersama mahasiswa program Magister Ilmu Susastra

dalam kuliah “Sastra Dunia”


I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

“Supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakkan cercaan” (Camus, 1985: 102). Kutipan di atas memperlihatkan benturan pemikiran kematian ideal dengan kematian ganjil. Adalah harapan kebanyakan orang pada saat mereka mati banyak orang datang untuk meneteskan air mata dan melantunkan doa. Namun, cerita tentang kematian dalam Orang Asing dibuat berbeda oleh Camus. Kematian yang diharapkan tokoh yang dibuatnya adalah kematian dengan lontaran kemarahan dan kebencian banyak orang. Harapan yang teramat ganjil bukan?

Albert Camus dalam novelnya ini banyak membicarakan tentang persoalan-persoalan hidup manusia, seperti tindakan yang dilakukan tanpa maksud dan dapat dikatakan tidak berarti, kegiatan dan peristiwa yang tidak ada bedanya bahkan kehilangan maknanya, dan lain-lain. Tidak hanya menyoroti peristiwa kehidupan, Camus juga menampilkan bagaimana cara kegiatan dan peristiwa-peristiwa yang tanpa makna dan kehilangan daya ubahnya itu dihentikan dengan kematian.

Kehidupan dan kematian merupakan dualitas mendasar yang dialami manusia. Persoalan alasan manusia hidup, tujuan mereka hidup, atau persoalan yang menyangkut kehidupan manusia menjadi petanyaan–pertanyaan panjang yang sulit dipecahkan oleh manusia itu sendiri. Permasalahan tentang hidup tidak terlepas dari makna hidup yang menjadi pertanyaan tajam dalam pemikiran manusia. Menurut Britton, sejak manusia sadar akan relasinya dengan alam dan kehidupan, manusia senantiasa menoleh kembali kepada dirinya sendiri sebagai titik tolak melakukan penilaian. Seperti halnya yang ditegaskan protogoras dengan adagiumnya yang terkenal; homo mensura, yang berarti manusia menjadi tolak ukur, baik tolak ukur dalam ilmu pengetahuan, filsafat, seni, maupun teknologi (1971: 1).

Problematika kehidupan yang terjadi di dunia seperti meletusnya Perang Dunia 1 dan 2 yang terjadi pada abad pertengahan menurut Solomon dan Higgins merupakan tanda kegagalan peradaban manusia dan merupakan kondisi keputusasaan yang mendapat tempatnya. Martabat manusia telah jatuh pada titik rawan yang disebabkan oleh kekerasan dan pembunuhan besar-besaran/ holocaust (2002: 527).

Oleh Albert Camus, peristiwa kehidupan itu mendapat sorotan tajam dan dirumuskannya dalam sebuah tema filosofis yang disebutnya dengan absurditas. Dalam tema itu, ia menegaskan bahwa kehidupan manusia telah kehilangan maknanya. Manusia telah menemukan dan menjalani kehidupan yang tanpa makna.

"The Absurd" refers to the conflict between the human tendency to seek inherent meaning in life and the human inability to find any. In this context absurd does not mean "logically impossible," but rather "humanly impossible.The universe and the human mind do not each separately cause the Absurd, but rather, the Absurd arises by the contradictory nature of the two existing simultaneously. (http://en.wikipedia.org/wiki/Absurdism)

Tema absurditas/ketidakbermaknaan yang diusung Camus juga terdapat pada salah satu novelnya, Orang Asing. Seperti yang sudah penulis paparkan bahwa novel ini sarat akan peristiwa kehidupan manusia, maka novel ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Memang sudah banyak peneliti yang mengkaji novel ini dengan memandang dari segi absurditas, namun hal itu tidak menutup kemungkinan terjadi pengkajian ulang terhadap teks sastra. Seperti halnya yang penulis lakukan yaitu mengkaji novel ini dari akhir tragis tokoh Mersault, yaitu kematiannya yang menurut penulis merupakan akhir dari hidup yang tanpa makna. Sehingga timbul beberapa pertanyaan semisal, bagaimana perasaan-perasaan absurd yang dijalani tokoh Meursault, keterasingan yang dialaminya, dan akhir dari perasaan absurnya atau akhir dari absurditas itu. Pada akhirnya akan ditemukan jawaban-jawaban setelah dilakukan pengkajian yang komprehensif, dan bisa jadi pengkajian yang penulis lakukan akan membuka penelitian-penelitian baru tentang novel ini.

II. PEMBAHASAN

A. Tokoh Mersault yang Selalu Merasa Absurd

Problematika kehidupan manusia diceritakan begitu ganjil dan aneh dalam novel yang berlatar Aljazair ini. Novel Orang Asing ini diceritakan melalui sudut pandang orang pertama, yaitu sudut pandang tokoh Meursault. Sebagai tokoh utama, Meursault merupakan tipikalisasi “kesia-siaan,” seperti yang telah digagas Camus dalam eseinya, The Myth of Sisyphus. Ia adalah simbol yang paling terlihat dari Sisifus yang senantiasa mendorong batu hingga ke atas bukit kemudian menggelindingkannya kembali ke bawah. Bagi tokoh Meursault, hidup merupakan serangkaian absurditas yang harus diterima sebagai kewajaran. Alasanya tidak lain adalah karena ketidakmampuan dirinya untuk menemukan makna setiap kehidupan dan memahami setiap peristiwa yang dialami. Hal itu sesuai dengan definsi absurditas dalam (http://en.wikipedia.org/wiki/Absurdism).

Pengarang, dalam hal ini Camus, menggambarkan seorang tokoh yang pemikiran-pemikiran dan caranya merespon setiap peristiwa yang menimpanya dengan sangat ganjil bagi kebanyakan orang. Hal ini dapat dilihat dari gaya penuturan cerita yang datar, jauh dari perasaan-perasaan emosional. “Hari itu ibu meninggal. Atau mungkin sehari sebelumnya, aku tidak tahu. Aku menerima telegram dari panti wreda, ‘Ibu meninggal kemarin. Dimakamkan besok. Ikut berduka cita.’ Kata-kata itu tidak jelas. Mungkin ibu meninggal sehari sebelumnya.” (Camus, 1985:3).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Meursault seperti tidak memiliki perasaan, atau dia tidak menunjukkan perasaan emosional terhadap kematian ibunya. Berbeda dengan tokoh-tokoh lain dalam cerita, tokoh Meursault digambarkan sebagai sosok yang menerima segala sesuatunya sebagai kewajaran. Ia tidak berusaha untuk memaknai, apalagi memahami kehidupan dan dunianya. Hal ini ditunjukkan Camus ketika tokoh Meursault menolak untuk melihat jasad ibunya untuk terakhir kali, ia tidak dapat memberikan alasan pasti. Ketika ditanya oleh penjaga pintu yang menawarkan untuk membuka peti mati ibunya, tokoh ini menolaknya. Penjaga itu bertanya kepada tokoh Meursault. “Mengapa?” ia hanya menjawab “Saya tidak tahu.” (1985: 6). Hal senada juga ditunjukkan Camus dengan menceritakan tokoh Meursault yang melewati kehidupan yang sama saja nilainya dengan yang dulu sebelum ibunya meninggal. “Aku berpikir bahwa hari Minggu telah lewat, bahwa saat itu ibu telah dikuburkan dan bahwa aku akan melanjutkan pekerjaanku dan bahwa, secara ringkas, tak ada yang berubah (Camus, 1985:20). Dari kutipan itu menunjukkan bahwa tokoh Meursault menanggapi sesuatu secara biasa saja sebagai kewajaran, rutinitas yang sia-sia sehingga dia terlihat seperti tidak memiliki perasaan.

Perasaan absurd Mersault lain yang digambarkan Camus adalah ketika Mersault menganggap sesuatu hal itu tidak penting. Misalnya soal cinta dan perkawinan. Tokoh Marie yang tidak lain adalah pacar Mersault beranggapan bahwa pernikahan adalah penting dan didasari dengan cinta. Pada saat ditanya oleh tokoh Marie apakah Meursault mencintainya, Meursault mengatakan bahwa itu tidak penting, bahkan dia mengatakan tidak. Seperti yang terlihat dalam kutipan:

“Pada sore hari, Marie datang mencariku dan bertanya apakah aku mau kawin dengan dia. Aku berkata bahwa bagiku, hal itu sama saja dan bahwa kami bisa melakukannya jika ia menghendakinya. Lalu ia ingin tahu apakah aku mencintainya. Aku menjawab seperti yang pernah kulakukan sekali dulu, bahwa hal itu tidak berarti apa-apa tetapi bahwa mungkin aku tidak mencintainya.” Lalu buat apa kawin denganku?” katanya. Kuterangkan padanya bahwa hal itu tidak penting dan bahwa jika ia menginginkan, kami bisa menikah. …. Ia lalu mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu hal yang cukup serius. Aku menjawab, “Tidak” (Camus, 1985: 36).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Meursault merupakan tipikalisasi kesia-siaan. Dia diceritakan memiliki perasaan absurd karena dunia yang dijalaninya sama saja, tidak ada artinya. Sehingga hal tersebut menimbulkan sebuah konflik batin tokoh Meursault dengan dirinya dan lingkungan sekitarnya. Tokoh ini seperti tidak tahu apa-apa dan tidak mengerti tentang dunia yang ditempatinya “di wilayah tempat tinggal kami, orang mengangggap aku kejam karena aku telah menyerahkan ibu ke panti wreda. Aku menjawab, aku masih belum mengerti mengapa, bahwa sampai saat itu aku tidak tahu aku dianggap kejam karena soal itu,” (Camus, 185: 39). Sebenarnya pemikiran-pemikiran tokoh ini sederhana dan logis. Terlihat dari alasan dia memasukkan ibunya ke panti wreda jelas karena penghasilannya tidak mencukupi. Tetapi masyarakat di mana tokoh ini ada berpendapat lain dan tidak bisa menerima alasan itu. Pemikirannya yang logis itu bertentangan dengan pemikiran masyarakatnya sehingga menimbulkan konflik sejajar antara dirinya dan masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Camus dalam artikelnya (1999: 164-167) yang dikutip dalam blog Asratisme berjudul Existensialisme Albert Camus Dalam Orang Asing, sebuah karya absurd dapat dikenali melalui kontradiksi tragedi rohani pikiran dan wujud konkretnya; antara jiwa yang tidak kenal batas dan kegembiraan jasmani yang fana. Karya absurd menampilkan kontras-kontras sejajar antara keduanya dengan menggabungkan yang logis dan yang sehari-hari ke dalam yang tragis.

Ketragisan tokoh Meursault ini diakibatkan oleh tindakan-tindakannya sendiri. Seperti ketika dia tidak dapat membela dirinya sendiri. Hal itu terlihat pada saat di pengadilan, yaitu ketika ia ditanya oleh pembela dan hakimnya tentang sebab dia menunggu antara tembakan pertama dan kedua dan kenapa dia menembak tubuh yang sudah terkapar, tokoh ini diam saja. Tokoh Meursault sama sekali tidak berusaha untuk memberikan jawaban yang dipikirkannya. Selain itu, dia juga tidak dapat meyakinkan orang-orang yang berada di pengadilan dalam novel ini bahwa dia sangat mencintai ibunya. “Yang dapat kukatakan dengan cepat dan pasti, yaitu bahwa aku lebih suka ibu tidak meninggal, tetapi pembelaku nampak tidak puas. Ia berkata ‘itu tidak cukup’” (Camus, 1985: 57).

Selain pemikirannya yang aneh bagi kebanyakan tokoh lain, tokoh Meursault juga digambarkan seperti tidak memiliki harapan dan ambisi untuk mengubah hidupnya. Tokoh ini selalu menerima apa yang terjadi dalam hidupnya. Dia menganggap segala sesuatunya adalah wajar dan sama saja. Konsep kewajaran ini dalam Orang Asing terlihat pada cara pandang tokoh Meursault tentang dunia, bahwa segalanya telah kehilangan daya ubahnya. Hal itu seperti terlihat dalam kutipan “…pada dasarnya bagiku sama saja … kita tidak pernah mengubah hidup kita, bagaimanapun juga semua sama saja nilainya dan bahwa aku menyukai benar hidupku di sini” (Camus, 1985: 36). Kutipan ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya tokoh Meursault menerima apa pun yang menimpa dirinya sebagai sebuah kewajaran dan terlihat seperti tidak memiliki harapan hidup. Ketika di penjara, tokoh Meursault menerima keadaannya dengan mencoba mengerti bahwa “manusia yang mungkin hanya hidup sehari dapat bertahan selama seratus tahun dalam penjara tanpa kesulitan. Ia mempunyai cukup banyak kenang-kenangan untuk tidak merasa bosan, dalam satu arti itu keuntungan” (Camus, 1985:68). Kutipan ini menunjukkan pemikiran tokoh ini sungguh aneh, berbeda dari kebanyakan tokoh lain. Bahkan melalui keterpenjaraannya, dia dapat melihat suatu keberuntungan. Manusia seperti tokoh Mersault dengan paham absurd telah bebas dari kebutuhan akan harapan. dia melakukan sesuatu sebagai sebuah rutinitas (karena ia tahu akan gagal lagi). Dia seolah seperti diombang-ambingkan oleh kehendak (dalam istilah kierkegard, kehendak yang manganiaya, manusia hidup dalam kesia-siaan). Oleh karena setiap tindakan telah menjadi rutinitas, hal yang sia-sia (bahkan menganiaya) ditanggapinya secara datar, biasa. Dia juga diceritakan pengarang dapat menerima dengan ikhlas hukuman yang akan menimpannya.

“Pada hakekatnya aku tahu bahwa mati pada umur tiga puluh atau enam puluh tahun tidak begitu penting, karena tentu saja dalam kedua kasus tersebut laki-laki dan wanita lain akan tetap hidup, dan itu terjadi selama ribuan tahun. Pokoknya tidak ada yang lebih jelas. Selalu aku yang mati, sekarang atau dua puluh tahun yang akan datang” (Camus, 1985:95-96).

Bahkan dia menolak mengajukan permohonan pengampunannya. Selain itu tokoh ini juga diceritakan seorang yang tidak percaya pada Tuhan (Camus, 1985: 97). Dia diceritakan selalu menolak kedatangan pendeta di saat-saat terakhir hidupnya. Dia juga memanggil pendeta itu dengan panggilan ‘Tuan” bukan ‘Bapa’ seperti kebanyakan orang dalam novel itu. Konsistensinya menolak kedatangan pendeta di saat-saat terakhir hidupnya menunjukkan konsistensinya pada penerimaannya. Ketidakpercayaan dirinya akan Tuhan merupakan ketidakpercayaan akan balasan surga dan neraka. Pandangan Mersault yang seperti ini dikarenakan dia sudah bebas dari harapan dan tujuan hidup dan karena dia merasa tidak mampu untuk memaknai setiap peristiwa yang terjadi.

B. Keterasingan Tokoh Meursault

Perasaan absurd yang didera oleh tokoh Meursault merupakan ketidakmampuannya dalam memahami keadaan dan peristiwa yang terjadi di dunia tempat dia mengada. Dia tidak dapat memaknai setiap peritiwa yang terjadi pada dirinya. Secara individu, tokoh meursault digambarkan terasing terhadap dirinya sendiri. Hal itu ditunjukkan dengan ketidaktahuan tentang pemikirannya sendiri. Soal apakah dia menyukai ibunya atau tidak dia juga kebingungan menjelaskannya. Tidak hanya itu, dia bahkan tidak tahu apa alasan dari sebuah tindakan yang dia lakukan. Misalnya, dia tidak tahu benar kenapa membunuh orang, dan menembak dengan 5 kali tembakan, kenapa ada jeda waktu antara tembakan pertama dan kedua, dan lain-lain tokoh ini tidak dapat menjelaskannya.

Pemikiran-pemikiran yang berbeda itu menyebabkan tokoh init erasing dengan dunianya. Seperti pemikirannya tentang memasukkan ibunya ke panti wreda dianggap kejam oleh masyarakat, sedangkan menurutnya tidak dan lain-lain seperti yang telah penulis uraikan dalam sub bab A. Ketika tokoh lain menganggap sesuatu itu penting, tokoh Meursault ini mengatakan itu tidak penting. Hal itu diceritakan dengan bagus oleh pengarang dalam novel ini dengan menunjukkan percakapan tokoh Marie dan tokoh Meursault tentang perkawinan dan cinta. Keterasingan yang dialami tokoh Meursault ini merupakan akibat dari perasaan absurd yang dialaminya.

Hal yang lebih tidak dapat dipahami tokoh Meursault adalah ketika di pengadilan. Sidang-sidang yang diperuntukkan kepadanya tidak membuatnya mengerti akan dirinya dan lingkungannya. Hal itu juga tidak membuat orang dapat memahaminya dan memahami dunia dengan baik. Tokoh ini beranggapan bahwa “… hal itu menjauhkan aku dari perkaraku, dan mengurangi diriku sampai habis, dalam satu arti, menggantikan diriku. Tetapi aku rasa itu sudah terlalu jauh dari ruang sidanga ini” (Camus, 1985: 87). Penulis melihat bahwa pandangan tokoh Meursault ini memang benar. Kasus kejahatannya adalah membunuh orang. Tetapi jaksa membawa pertanyaan-pertanyaan dalam sidang lebih banyak pertanyaan yang berkaitan dengan dirinya dan ibunya. Kematian ibunya dikaitkan dengan kejahatannya membunuh orang. Jaksa penuntut membawa kasusnya ke arah pembunuhan berencana, dan tokoh Meursault tidak dapat melakukan pembelaan terhadap dirinya. Dia pasrah menerima segala hukuman yang akan menimpannya. Camus dalam novelnya menyindir institusi pengadilan yang terkesan tidak dapat melihat kejadian secara bersih. Mereka hanya melihat dari kacamata hitam dan putih, salah dan benar.

C. Berakhirnya Absurditas

Tokoh Meursault diceritakan memiliki keyakinan yang kuat akan apa yang dialaminya dan tentang hidupnya namun, masyarakat dalam novel ini melihatnya berbeda. Sehingga dia terlihat asing dengan dunianya. Meskipun tokoh Meursault ini merupakan tokoh yang asing dengan dunianya, dia harus menerima segala sesuatunya sebagai sebuah kewajaran. Menurut Camus, “kewajaran itu sebanding dengan besarnya kesenjangan antara keanehan hidup seorang manusia dan kebersahajaannya dalam menerima hidup yang aneh itu” (1999: 163). Dengan melihat semua sebagai kewajaran, dapat menimbulkan harapan yang aneh bagi seseorang.

Harapan aneh yang dimiliki tokoh Meursault ditunjukkan Camus pada saat-saat terakhir dia akan dihukum mati. Seperti tampak dalam kutipan, “Supaya semua tereguk, supaya aku tidak merasa terlalu kesepian, aku hanya mengharapkan agar banyak penonton datang pada hari pelaksanaan hukuman matiku dan agar mereka menyambutku dengan meneriakkan cercaan” (Camus, 1985: 102).

Kutipan yang sudah pernah penulis kutip pada bab pendahuluan di atas sebenarnya mengisyaratkan bahwa tadinya, pada saat tokoh Meursault hidup dia merasa tidak ada orang lain yang memperhatikannya dan mengacuhkannya. Sehingga pada saat dia akan dimatikan oleh institusi pengadilan dia merasa dunia terfokus pada dirinya. Dunia tidak mengacuhkannya.

Camus menceritakan bahwa tokoh Meursault ini sadar akan kehidupan absurd yang dijalaninya. Tetapi tokoh ini sangat yakin akan apa yang dijalani dan dipilihnya.

“… aku yakin akan diriku, yakin pada semuanya, …yakin pada hidupku dan kematian yang akan datang itu. Tetapi sedikitnya, aku berpegang pada kebenaran itu semantap kebenaran itu menjadi milikku. Aku telah benar, aku masih benar dan aku selalu benar. Dengan demikian aku telah hidup dan aku akan hidup dengan cara lain. Aku telah melakukan ini dan aku tidak melakukan itu. … Dari dasar masa depanku, selama aku menjalani kehidupan yang absurd itu, desau yang samar-samar naik ke arahku melewati tahun-tahun yang belum tiba dan desau itu dalam perjalanannya menyamakan semua yang disarankan kepadaku waktu itu, dalam tahun-tahun yang paling nyata yang telah kujalani” (Camus, 1985: 101).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa tokoh Meursault merupakan manusia yang bermoral absurd. Moralitas absurd dibangun atas dasar gagasan bahwa suatu tindakan memiliki konsekuensi yang mensahkan atau menghapuskannya. Semua ini hanya bisa dilakukan dengan penuh kesungguhan. Artinya bagi seorang yang absurd berarti ia mengamini segala bentuk kegiatannya dengan penuh rasa tanggungjawab dan cinta. Mersault yakin akan dirinya bukan karena dia yakin absurdias akan berakhir tetapi lebih kepada dia siap akan hidup lagi dan menemukan makna-makna baru meskipun nantinya dia juga tidak dapat menemukan makna-makna itu. Seperti terlihat dalam kutipan,

“aku merasa siap untuk hidup kembali. Seakan-akan kemarahan yang luar biasa itu telah mencuci diriku dari kejahatan, mengosongkan diriku dari harapan, di hadapan malam yang penuh dengan tanda dan bintang itu, untuk pertama kali aku membuka diriku pada ketakacuhan lembut dunia ini. Karena setelah merasakan bahwa ia begitu sama denganku, dan akhirnya begitu bersaudara, aku merasa bahwa aku telah berbahagia dan masih demikian adanya” (Camus, 1985: 102).

Kutipan di atas menunjukkan bahwa makna bukan dilihat dari tujuan dan harapan hidup seorang Meursault, tetapi lebih terletak dari setiap tindakannya. Dia sebenarnya tahu bahwa kehidupannya akan menjadi rutinitas yang tanpa makna lagi dan dia yakin akan hal itu. “aku telah benar, aku masih benar dan aku selalu benar” (Camus, 1985: 101). Meskipun dia tahu akan gagal menemukan makna lagi, dia tetap akan melakukan rutinitas itu dan menerimanya sebagai kewajaran. Sehingga makna bukan ditemukan pada tujuannya tetapi terletak pada setiap usahanya untuk menemukan makna tersebut. Untuk mengakhiri ketidakbermaknaan/absurditas itu Camus memperlihatkan dengan cara kematian.

Kematian yang menimpa Meursault ini adalah kematian yang dilakukan oleh pengadilan. Sebuah tindakan aktif yang dilakukan institusi untuk meniadakan seseorang. Penulis melihat adanya pemikiran Camus untuk mengakhiri absurditas yaitu dengan bunuh diri yang merupakan tindakan aktif secara sadar. Hal ini sesuai dengan apa yang dialami tokoh Meursault. Dia dimatikan oleh pengadilan berarti perasaanya hilang. Perasaan yang dimaksud adalah perasaan absurd. Setelah perasaan absurd itu hilang, jasadnya juga ikut hilang. Sehingga ke”aku”annya hilang.

III. PENUTUP

Tokoh Meursault merupakan tipikal yang ‘sia-sia’. Dia diceritakan pengarang sebagai tokoh yang bersahaja dan selalu menerima segala sesuatu sebagai suatu kewajaran. Ketika suatu rutinitas dianggap sebagai suatu kewajaran dan nilainya sama, bahkan tidak penting, hal itu bisa dikatakan rutinitas kehidupan itu tanpa makna. Berarti hal itu dapat dikatakan bahwa tokoh Meursault menjalani kehidupan absurd. Perasaan absurd yang dialaminya membuatnya terasing dengan dirinya dan dunianya. Untuk mengakhiri keabsurditasan itu, Mersault dimatikan oleh institusi pengadilan. Sehingga perasaan absurdnya hilang dan mengakibatkan jasadnya juga ikut hilang. Setelah jasadnya hilang, hal yang membuatnya mengada ikut hilang/ ke”aku”annya sirna.

Orang seperti tokoh Meursault dengan tipikal kesia-siaan itu sudah bebas dari harapan dan tujuan. Karena sebenarnya makna hidup bukan dilihat dari tujuan dan harapannya tetapi dari setiap tindakan yang dilakukannya. Kesadarannya akan konsekuensi terhadap apa yang dilakukannya. Dia akan siap hidup lagi dan menemukan makna baru meskipun dia sadar dia akan gagal, begitu seterusnya.

DAFTAR PUSTAKA

Britton, Karl. 1971. Philosophy and The Meaning of Life. London: Cambridge University Press.

Camus, Albert. 1985. Terjemahan, Orang Asing. Jakarta: Penerbit Djambatan.

…………….. 1999. Terjemahan Apsanti D. Mite Sisifus: Pergulatan dengan Absurditas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Solomon, Robert C., dan Higgins, Kathleen M., 2002. Alih bahasa Saut Pasaribu. Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Bentang.

http://thinker-asratisme.blogspot.com/2010/06/12/Eksistensialisme Albert Camus dalam Orang Asing

(http://en.wikipedia.org/wiki/Absurdism)

0 Comments:

Post a Comment