Jadikan aku seperti burung berkelana sepanjang masa
Hinggap diantara rantingranting dedaunan yang terluka
Mencari sesuatu yang bukan fana
Sesuatu tuk tentramkan relungrelung jiwa
Jadikan aku layaknya bangkai pembusuk
Meleburkan jasad pendosa maupun ulama
Jangan jadikan diriku kutu busuk
Tanpa guna apaapa
Jadikan aku dedaunan nan hijau
Sejukkan hati yang gundah gulana
Sampai malaikatpun terpukau
Tak kuat tuk pejamkan mata
Terserahlah Kau akan jadikan aku apa
Aku tak ingin menjadi pemintaminta
Yang rakus akan dunia
Jadikan aku sebagai penerima
Anak Jalanan
Ibuku melahirkanku di bawah kolong jembatan
Jadilah diriku anak jalanan, berkutat dalam dunia hitam,
Kulitku yang tadinya putih mulus kini menjadi hitam legam
Tapi, jangan salah! Jiwaku seputih kapas, kawan;
Putih laksana bidadari mereka pada dunia yang berbeda:
Tapi aku tetap anak jalanan yang telah kehilangan cahyanya.
Ibuku bercakap padaku di bawah kolong jembatan, itu dulu
Dan bercerita sebelum panas hari menyengat,
Ditemani indahnya gunung sampah di samping kami,
Dia letakkan daku pada pangkuanya dan menciumku, itu dulu
Entah kenapa badanku terasa hangat, mulai berkeringat,
Dan menunjuklah dia ke arah timur, mulai berkata:
“Lihatlah nak! Saat mentari menampakkan keperkasaanya: Tuhan tak tidur,
Memberikan sinarnya pada kita dan memberikan kekuatan pada kita;
Anugrah yang luar biasa tanpa bisa dihitung dengan angka.
Beragam tumbuhan, hewan, dan manusia gembira menerimanya,
Terlihat dari gurat gurat wajah mereka sebagai pertanda
Kenyamanan saat pagi tiba dan siang menjelang.
“Kita ditempatkannya pada planet ini, sebuah tempat yang sempit.
Mengais sisasisa kehidupan dan cinta yang ditinggalkan begitu saja,
Mentari tetap memberikan cahayanya pada kita,
Janganlah kau takut sengasara di dunia yang fana ini,
Lihatlah angkasa yang menjulang, gapailah citamu meski dalam mimpi,
Pandangan kedepan, lepaskan jerat tali yang melilitlilit.
“saat kau telah tahu akan arti cahaya terang benderang,
Kabut tebal akan menghilang terbawa angin kencang,
Kita seharusnya mendengar bisikan suaranya, merdu
‘keluarlah dari pergulatan pikiranmu sayangku,
Kemarilah menuju dekapan mesraku
Dan masuklah dalam istana layaknya para pencari itu.’”
Itulah yang dikatakan ibuku padaku, dan membelai rambutku
Dan itulah yang akan kukatakan pada dunia
Saat aku dari kolong jembatan, dan mereka dari gedung seberang
Bederet rapi di tepi jalan, tegak berdiri menjulang
Itulah kenyataan yang nampak kasat mata
Bersama-sama masuk dalam istana Tuhan dalam satu pintu.
Aku akan tegak berdiri, melindunginya
Menjadi sepertinya, sehingga mereka dapat mencintaiku apa adanya.
The young Intellectual Band Give Me the Light of Live
0 komentar Diposting oleh posted by eka di 05.31When I heard the song, “Sebelum cahaya” firstly, the song sliced into my heart like a razor-sharp blade of bamboo. The song is very very wonderful and contain of philosophical value in there. You know, my tears streamed down and made my cheek were wet. I don’t know why it can be happened. I tried to comprehend fully of the lyrics and I found the true love. It’s very beautiful lyrics that I ever heard. So, I asked to my friend who has been sung it. Oh…They are “Letto”.
Actually, not only “Sebelum Cahaya” but also all of their song are wonderful. They are different from other band. Every lyric of their songs is different and the music instruments are good and unique. I didn’t found it before. After that, I observed all of the personnel of the group band. Noe, Dedi, Arian and Patub are the four members of Letto. This band is from Jogjakarta. They are young and highly educated.
Noe, lead singer of the group, Alberta University in Edmonton, Canada for five years and it was there that he graduated with a Bachelor of Science with majors in Math and Physics. Patub is also university graduate majoring in agriculture. Dedi is currently studying at Universitas Muhammadiyah Jogjakarta. Wow….. great!!!
All their own song that collected in CD ‘Truth, Cry and Lie’ inspired me to understand my live and my creator, God. I found my real and true love, the beautiful love, is to my God. This love is unusual like the love of men and women, but more it more. The love is like thunderbolt attack my heart, the big love. I can’t to say it, and may be it could not be said. Does it ever happen to you?
Love is just happened every humans. Do you agree with me? Up to you, but I believed it. If you want to found it, the true love, you have to try and try and try until you found it. The light of love guides me to a true road. Until now, I don’t know what I found it. I will look for it and try it.
Mata kawan-kawan berbinar pagi itu, tepatnya pukul 07.00, 5 Mei. Satu demi satu dari mereka melangkahkan kakinya menuju bus yang telah siap membawanya pergi. Di pojok lain teman-teman asyik memasukkan makanan ringan ke dalam plastik. Pada sisi lain teman saya upyek mencari kawan duduk dalam bus.
“kowe jejer sapa neng”
“Saya mah duduk sama siapa aja bisa”
Begitulah mereka mengawali pembicaraannya. Ku ajak mereka masuk bus, dan duduk sesuai keinginanya. Banyak tempat kosong coi, tak masalah.
Sebenarnya acara ini merupakan mata rantai kegiatan kuliah yang pada semester ini kami ambil sebagai pengganti ujian tengah semester. “Jarang-jarang kuliah di luar kelas”, kata temen saya. Kami pun setuju. Kuliah yang lazimnya di kelas, kini pindah sehari untuk melihat dunia luar. Awalnya kami pun memilih tempat sesuai dan berhubungan dengan mata kuliah kami. Musyawarah pun digelar di saat jam kuliah kosong. Satu demi satu teman mengajukan tempat yang cocok. Alasan mengenai pemillihan tempat pun diutarakan. Satu demi satu dari mereka mencoba kuat dengan pendapatnya. Di saat kami beradu argument, teman yang lain keluar ruangan. Tempat pun fix dengan beberapa prioritas jika tempat kunjungan yang pertama tak bisa, beralih yang kedua dan seterusnya sampat yang terakhir, Selesai sudah diskusi hari itu, dan selanjutnya menyusul mengenai penetapan hari keberangkatan dan susunan panitianya.
Seminggu kemudian saat mengukuti kuliah itu, salah satu diantara kami, teman saya yang saya acungi jempol kepeduliannya terhadap kawan-kawan, memberikan coretan hasil diskusi kemarin pada dosen kami yang tercinta, katanya.
Ditataplah lembaran hasil keputusan itu. Diamati satu persatu dan dikritisinya. Ternyata semuanya tak cocok. Konon katanya dan dengan bahasa halus, beliau mengatakan tempat ini gak cocok dengan kita, ini sudah besar nanti kalo gak ketemu owner nya bagaimana, kan rugi kita, tiba-tiba bertanya tentang ini itu mereka gak bisa jawab.
Ditawarkanlah suatu tempat yang beliau anggap layak. Suatu daerah di selatan kota kami. Kami pun mengiyakan kawasan itu dengan alasan ya gimana lagi usulan kita tak disetujui.
Berangkatlah kami pagi itu. Kita tinggalkan satu mata kuliah lain, demi mengikuti field trip. Yang kami bingungkan kenapa tak gunakan hari week end, “kenapa harus jam kuliah lain?” Tanya teman saya. Kata teman saya lain, dosennya tak punya waktu, bisanya ya hari itu, selasa. “ohhh”.
Sampailah kami pada suatu tempat pemancingan dengan lahan yang kata pemiliknya seluas 5 hektar. Dari lahan seluas itu, terdapatlah lapangan woodball (salah satu cabang olahraga) yang merupakan satu-satunya di Indonesia. Kami disambut dengan dipersilahkan duduk di suatu tempat terbuka dengan dinding dari rambatan dedaunan. Di sampinya kolam lebar dengan pohon-pohon yang berbaris mengelilingi kolam ikan itu. Cahaya matahari memantulkan sinarnya lewat air kolam memenuhi atap ruangan itu, seakan ruangan itu bergoyang diterpa sinar. Mulailah seminar kecil untuk mengorek hal-hal yang berhubungan dengan tempat pemancingan itu dan usahanya. Pemiliknya menceritakan sedikit demi sedikit usaha yang digelutinya, dan disambunglah dengan acara tanya jawab.
Bincang-bincang pun selesailah. Berhubung perut kami mulai keroncongan, kami memutuskan makan terlebih dahulu. Temen saya pun kaget melihat apa yang dihidangkan pelayan. Sambil berbisik dia bertanya pada saya, “makan ini gratis, dikasih sebagi kunjungan kita, atau bayar?”
Aku pun diam saja, hanya gelengan kepala sebagai penjawabnya. “makan sajalah”, kataku.
Dia pun melanjutkan makannya. Selesai makan, kami pun berusaha menikmati pemandangan yang ada di sana. Sungai dengan kejernihan airnya mengalir mengitari tempat pemancingan itu. “Wisata alam yang sangat indah”, katanya.
Tetapi dibalik kekagumannya pada tempat itu, hatinya bergolak. Seakan-akan dia ingin menumpahkan semua unek-uneknya kepadaku. Pertanyaan demi pertanyaan memberondongku. Aku tak bisa menjawabnya, karena memang aku tak tahu bukan aku tak mau menjawabnya.
“hei, makan tadi tu bayar apa tidak sih?”
Aku terdiam.
“kata temen-temen kita gak jadi ke Solo ya setelah ini. Kenapa si diputuskan sepihak, kan kita rapatnya habis dari sini ke Solo?”
“Aku gak tahu, manut saja.”
“Gak bisa gitu dong, itu kan sudah keputusan, rugi dong saya capek-capek ke sini kalo cuma makan lele tok.”
“kamu jangan marah gitu sama saya, aku gak tahu.”
“makan saja ndadak ke Boyolali.” Tambah temen saya yang ikut nimbrung.
Tak hanya itu saja yang dikecewakan temen-temenku. Saat waktu pulang sudah mendekati tepatnya, kami pun menuju ke bus. Tapi, ada sebagian teman kami yang tidak mau pulang sekarang. Dia asyik dengan kegiatannya sendiri. Saat mereka diminta balik, ngomonglah mereka. “kita di sini itu nyewa satu hari, tidak setengah hari, rugi dong kita.”
Temen saya yang lain mengatakan kenapa kita tidak diajak melihat-lihat bagaimana tempat mengolah ikan itu, dimana dapur yang diceritakan panjang lebar itu.Semuanya hanya omongan yang berbusa-busa. Temen-temen banyak yang kecewa. Kekecewan mereka dilampiaskan dengan bentuk resistensi.
Tibalah saatnya kejadian yang tidak mengenakan terjadi. Salah satu temen saya yang tadinya saya acungi jempol mengenai keuletanya. Tiba-tiba dia marah, emosi menegang. Sampai akhirnya kata jelek muncul. “stupid” katanya.
Aku yang tadinya bangga padanya, tiba-tiba kaget.Kami kecewa sekali dengan sikapnya. Kata temen, kenapa dia harus marah-marah di depan dosen kami, masalah itu bisa diselesaikan di kampus. “Itu masalah sendiri. Jangan-jangan dia kayak gitu cari……dosen.” Ungkap temen saya.
“semuanya dia tentukan sendiri, putuskan sendiri. Yang sudah jadi kesepakatan pergi ke solo, tiba-tiba gak jadi,” uncap kekesalan temanku. “terlebih lagi makan lele saja ndadak ke Boyolali” tambahnya.
Ternyata teman-teman, pemilik usaha itu ayah dari teman dosen kami. Menurut Anda bagaimana. Pertanyaan muncul di benak teman saya yang tak berani diungkapkannya pada orang lain selain saya. Jangan-jangan, dan jangan-jangan….
Agama dijadikan tanda pengenal untuk menyelamatkan diri. Terhindar dari maut merupakan anugerah yang luar biasa waktu itu. Lalu, bagaimana dengan sekarang? Zaman di mana seseorang bebas melakukan apa saja, memeluk agama apa saja, bahkan tidak beragama pun tak dilarang. Apakah agama masih sebagai tanda pengenal belaka?
Banyak orang beragama tapi tak tahu apa yang harus dilakukan terhadap agama itu. “Tahukah kamu apa itu agama? Benda macam apa dan untuk apa memiliki agama?” pertanyaan itu kulontarkan kepada temanku. Dia berbalik tanya, “punya agama nggak sih kamu, pertanyaanmu aneh”. “Punya dong, tapi saya tak tahu harus kuapakan agama saya itu. Untuk siapa dan untuk apa saya punya agama,” jawabku. Temanku pun terdiam dan meninggalkanku pergi dalam kebimbangan tentang agama, terlebih lagi tentang Tuhan.
Eksistensi Tuhan
Bicara tentang Tuhan, tak sedikit orang yang menganggap pembicaran yang berat. Sesuatu yang susah untuk diterima bagi orang yang tak mau menerimanya. “Ngapain sih ngomong soal Tuhan. Yang penting iman, melaksanakan perintahnya. Gampangkan. Tak usahlah kau bicara mengenai Tuhan. Gila ntar kau. Jangan aneh-aneh yang kau bicarakan,” kata teman saya. Kuterima saja apa yang dia bicarakan, supaya tak terjadi perdebatan. Tapi saya sangat tidak puas dengan semua yang ia katakan.
Iman yang berarti percaya, dapat dimaknai bermacam-macam. Tafsir iman tidak lagi digunakan sebagi jalan pencarian Tuhan, tapi terkadang menjadi sesuatu yang menakutkan, mengancam nyawa, sesuatu yang ekslusif, dan tak perlu dibicarakan.
Lihat saja seorang sufi Jawa, Syeh Siti Jenar, mati karena mempunyai kesimpulan sendiri tentang Tuhan. Para wali menganggap ajarannya berbahaya, sehingga ia dibunuh. “Manunggaling Kawula Gusti” merupakan ajaran yang dianggap membahayakan saat itu. Konsep penyatuan raga seorang hamba kepada Tuhan-lah yang membuat Syeh meninggalkan dunia. Mungkin, benar juga ajaran itu berbahaya bagi keimanan orang awam waktu itu. Sehingga para wali khawatir, jika masyarakat menganggap Syeh Siti Jenar sebagai Tuhan. Maka ia harus mati. Mungkin bisa dikatakan Syeh merupakan orang yang hidup di waktu yang salah. Bisa jadi.
Tapi kenapa dia harus mati? Apa salahnya berpendapat. Ia punya pendapat sendiri mengenai Tuhan yang mengusik para wali. Dan ajaranya dianggap berbahaya.
Sebenarnya tak hanya Syeh Siti Jenar yang harus mati karena punya pemikiran sendiri soal Tuhan. Mansyur Al-Hallaj adalah seorang sufi Irak yang mati dipotong-potong oleh masyarakat setempat. Ia berpendapat haji tak perlu harus ke Mekah, haji bisa dilakukan di Irak. Masyarakat tak mau menerima ajaranya, sehingga ia harus mengalami nasib yang sama seperti Syeh.
Begitu berbahayanya berbicara soal Tuhan, bisa-bisa nyawa melayang. Apalagi di zaman sekarang, lucu sekalli ketika seseorang menghakimi orag lain dengan kata-kata kamu kafir. Apakah dia Tuhan sehingga menjustifikasi orang lain dengan kata itu. Ia hujat seseorang yang memiliki perbedaan persepsi tentang Tuhan. Orang lain dianggap salah dan hanya dia yang benar. Padahal kebenaran merupakan suatu proses. Ada versi kebenaran menurutnya dan kebenaran menurut orang lain. Apalagi soal Tuhan.
Kalo saya pikir-pikir, benar juga kata Al Hallaj. Kenapa kita haji harus ke Mekah? Apakah Tuhan itu ada di Mekah, di dalam Ka’bah? Oh ternyata bukan. Kata orang, yang ada di dalam Ka’bah adalah sebuah batu. Hanya sebuah batu hitam yang dinamakan Hajar aswad. Ka’bah hanya sebuah simbol keberadaan Tuhan. Berarti, Tuhan tak ada di sana.
Kenapa seseorang harus berbondong-bondong ke sana jika Tuhan tak hanya ada di situ? Berbagai cara dilakukan untuk dapat ke Mekah. Tidak sedikit ada yang sampai berhutang, demi --jika pulang-- bisa dipanggil pak Haji ataupun bu Haji. Lucu sekali kedengarannya. Tak hanya haji, ibadah lainpun juga demikian. Rajin sholat, puasa, dll agar mendapat julukan alim.
Ragu
“Segala sesuatu harus diragukan (De Omnibus Debutandum),” kata Rene Descartes. Islam-pun bicara bahwa keraguan, kebimbangan, harus segera ditinggalkan. Bukankah begitu? Bagaimana jika meragukan eksistensi Tuhan? Apakah saya harus meninggalkanya? “Tinggalkan, tinggalkan semua jika kau ragu, tak usah sholat, puasa, atau yang lain,” kata teman saya itu. “Sebelum kamu yakin bahwa Tuhan ada, tinggalkan saja. Kecuali jika kamu telah yakin. Karena kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu. Jika tak ragu berarti kamu yakin,” tambahnya tanpa mau disela.
Jelas saya yakin, Tuhan itu ada. Buktinya ada saya, kamu, dunia ini, dari mana datangnya jika tak ada yang menciptakan. Yang saya bingungkan dimana Tuhan? “Kalo soal itu jangan tanya aku, aku sendiri tak tahu.” Jawab teman saya sambil garu-garuk kepalanya. Wah saya harus tanya sama siapa ya? Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda tahu di mana Tuhan berada?
Penting mungkin jika seseorang tahu di mana Tuhannya sebagai cara menghilangkan keraguannya. Seseorang mungkin akan senang jika mengenal Tuhanya. Sebuah pepatah mengatakan,”Tak kenal maka tak sayang”. Hidup serasa hampa jika tak mengenal seseorang yang dicintainya. Tak ada gunanya mungkin. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah mengenal Tuhan Anda?
Cinta
Saya teringat dengan sebuah lirik lagu yang dinyanyikan Grub Band Dewa. “Jika Surga dan Neraka tak pernah ada, masihkah kau sujud kepadaNya.” Kira-kira seperti itu bunyinya. Lagu itu menggelayuti pikiran saya. Bagaimana jika lagu itu terbukti benar. Tapi toh Tuhan tidak demikian. Tuhan tetap menciptakan Surga dan Neraka sebagai balasan terhadap hambanya. ”Aku tak butuh kamu menyembahKu” kata Tuhan. “Jika Aku memang butuh, bisa saja Aku menjadikan kamu semua bersujud kepadaKu”.
Mengutip perkataan sufi perempuan. “Aku beribadah kepada Allah bukan karena aku takut pada neraka. Sebab bila aku demikian maka aku akan sia-sia. Tidak pula aku beribadah karena keinginan masuk surga, sebab bila demikian aku bagaikan seorang budak yang menginginkan imbalan atas semua kerjaku. Tetapi aku beribadah karena cintaku kepada Allah dan aku selalu menginginkanNya,” (Rabiah al Adawiyah)
Bagaimana dengan Anda, Apakah yang Anda lakukan selama ini, beribadah hanya untuk mendapat sorga dan Neraka tanpa didasari cinta padaNya. Semua terserah Anda.
Menutup tulisan saya, teman saya pernah berkata. “Syariat tanpa hakikat adalah kosong, sedangkan hakikat tanpa syariat tak akan sampai”. Benarkah demikian?***
Jarum jam telah menunjuk angka tepat pukul dua belas titik nolnol. Burung hantu mulai keluar dari sarangnya sekedar mencari makan mengisi perutnya. Suaranya membuat bulu kudukku berdiri, dan matanya menyiratkan sesuatu hal yang bukan biasa akan terjadi, saat kuintip dia dari jendela kamarku. Dia menapakkan kaki mungilnya dan mencengkeram ranting pohon samping rumah sambil pandangannya menyelidik dan mengawasi mangsa naas lewat. Pemandangan seperti ini tak jarang ditemui di desaku saat tengah malam tiba. Tapi, malam ini sama sekali berbeda, perasaanku tak enak, mataku tak bisa terpejam, telah kucoba berkali kali mengatupkan keduanya tapi sungguh tak bisa. Seperti ada yang mengganjal di mata sayuku. Ku bangunkan ibunya anakku dan kuceritakan kegelisahanku.
“pak, mungkin itu karena mimpi bapak kemarin, tak usah dipikir kan hanya mimpi to ya, lagian suara burung hantu kan dah biasa, bapak jangan berpikir negatif lah, nanti beneran terjadi lho.”
“Perasaanku sungguh tak enak bu malam ini, mimpi itu seperti nyata, kurasa ini firasat ya ini memang pertanda.”
Istriku tak menggubris perkataanku, dia kembali membaringkan badannya sambil berkata
‘’pak tidur saja, itu hanya mimpi”
***
Warga berbondong-bondong datang ke rumah. Di tangan Mereka menenteng balok kayu, sambil berteriak teriak. Kuintip dari kamar, mata mereka merah seperti orang yang mabuk, kesetanan. Kata kata yang keluar dari mulut merekapun tak enak didengar. Mereka menyuruh diriku dan seisi rumah keluar. Aku jelas tak berani tho ya, meskipun aku tak tahu apa salahku dan aku merasa tak bersalah, tapi ketakutan itu menyelimuti tubuhku dan menahan kakiku tuk melangkah keluar rumah. Batu sebesar bola kasti, yang mereka ambil dari pinggir jalan, dilemparkan ke rumahku, ke jendela rumahku. Istriku yang telah terbangun ketakutan, airmatanya mengalir, dan anakku yang baru berusia tiga tahun mengangis. “pak, bapak salah apa, ha…”
“aku tak tahu bu, tak mengerti mengapa mereka berbuat demikian, ibu tenang, bapak cari akal. Kita akan keluar dari sini.”
Suara yang dilontarkan mereka tak begitu jelas, tak terus beralun dan seketika itu diriku terbangun kaget. Seketika itu, istriku yang tidur di sampingku ikut juga terbangun.
***
Mimpiku memang realita, lebih mengerikan malah. Tepat pukul satu malam tragedi itu berawal. Warga desa mendatangi rumahku, mengacung-acungkan kayu, melempari jendelaku dengan batu. Suasana begitu mencekam. Dipentung-pentungkannya kayu itu ke pagar rumahku. Aku sungguh tak mengerti, mengapa, mengapa mereka melakukan semua ini? Teriakanya meraung-raung memecah kesunyian malam. “Habisi saja penganut aliran sesat ini, bakar saja rumahnya.” Suara itu terdengar jelas di kepalaku tanpa henti.
Istriku antara tak sadar dan sadar menghampiriku yang sedang mengintip dari balik jendela. Wajahnya terlihat pucat, ketakutan. Dia gugup, kenbingungan apa yang hendak dilakukan. Anakku yang menangis, segera digendongnya dan ditenangkanya. Untunglah tangis anakku segera berhenti, kuraih semata wayangku, lalu kusuruh ibunya mengambil beberapa potong pakaian anakku, satu setel pakaianku dan pakaiannya dari dalam lemari tak jauh dari pintu keluar kamar.
“Kita harus segera keluar dari sini. Bagimanapun caranya. Kita lewat pintu belakang. Tundukkan kepalamu jangan sampe mereka tahu kita keluar rumah.”
Istriku segera melakukan apa yang kuperintahkan tanpa membantah sedikitpun. Suasana semakin genting. Jendela kaca rumahku semuanya pecah. Pagar rumahku hampir roboh. Sebelum segera keluar kuintip lagi, dan ternyata. Aku sangat kaget. Seorang ulama yang sangat kukenal juga berada di sana. Tapi aku segera beranjak, kutundukkan kepalaku supaya mereka tak melihatku keluar rumah. Aku mengendap-endap beserta istriku dan anakku di gendonganku, mencoba menyelamatkan diri dari maut yang sudah ada di depan mata. Aku berhasil keluar rumah tanpa sepengetahuan mereka.
Dari jauh kudengar suara sirine mobil polisi menuju ke rumah. Kutetapkan langkahku semakin cepat, tanpa kugubris suara itu. Istriku juga melaju kencang di depanku. Aku menuju kediaman mertuaku, tak jauh dari rumahku, sekitar dua kilometer jaraknya. Tak lama kemudian sampailah kami didepan pintu kediaman mertuaku. Isteriku segera mengetok pintu meski tengah malam. Sekitar pukul tiga. Ibu mempersilakan kami masuk.
***
Polisi mencoba menenangkan warga. Warga yang naik pitam, kesetanan, alias lupa daratan belum bisa dikendalikan. Pagar rumah telah dirobohkan. Menerobos masuk ke teras rumah. Tak lama kemudian massapun reda. Entah siapa yang membuat mereka mengehentikan aksi bejatnya. Entah polisi, entah malaikat, atau mereka telah capai berteriak-teriak dan menuruti nafsu yang bergolak. Warga pulang ke rumah masingmasing setelah memuaskan hasratnya.
Polisi memasang garis kuning pembatas melingkari rumahku. Untunglah polisi segera datang. Rumahku tak jadi dilahap api. Tapi, kenapa polisi selalu datang setelah peristiwa mengejutkan itu telah terjadi. Semuanya telah rusak. Kerugian kutanggung begitu besar hingga nafasku sesak. Bukan materi tapi psikologi. Bagaimana memulihkan anakku yang berusia tiga tahun melihat kejadian itu secara langsung, ditambah lagi dialami oleh dia sendiri dan keluarganya. Meskipun begitu, terimakasih banyak kuucapkan kepada polisi menggagalkan pembakaran rumahku.
***
Ibu dan bapak kemudian bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Di ruang keluarga kami bicara. Anakku yang tertidur karena telah lelah menangis sepanjang perjalanan kubaringkan pada kursi sudut dekat aku duduk. Istriku terdiam tanpa mengeluarkan suara hanya memandang ke arahku saat ibu dan bapak bertanya. Kuceritakan semua apa yang terjadi tengah malam itu. Bagaimana warga merusak rumahku dan teriakan mereka yang menggelegar bagai petir.
“Kulo nggih mboten ngertos pak, kulo mboten nate nyalahi tiyang sanes. Warga nggih biasa-biasa dumatheng kulo. Tapi, ndalu puniko kulo mboten ngerti.”
“ra mungkin, rak ono opo-opo warga biso ngrusak omahmu.”
“hanggih, saking omongane, kulo dituduh penganut aliran ‘sesat’.”
Mendengar kata sesat, bapak sedikit naik pitam.
“Saenak udele dewe ngecap wong sesat. Deweke sing sesat, ora pantes duwe agama tapi kelakuane ngluwehi wong sing rak duwe agama. Atine wis ilang katutan angin. Kowe nglakoni opo awe tho kok dituduh sesat.”
“sami kaliyan sanes. Mboten nglakoni napa kemawon pak. Kulo memang berbeda penafsiran tengtang yang di sana. Tapi salahkah saya jika saya berbeda.”
Karena masih teringat kejadian tadi malam, omonganku jadi campur aduk, kadang Jawa campur Indonesia. Malampun berganti, fajar menyingsing, matahari mulai menampakkan wajahnya. Mentari bersinar cerah, dan diriku tetap saja lemah. Tragedi malam itu membuatku merenung, berpikir apa sebenarnya kesalahanku. Kenapa mereka mengataiku sebagai penganut aliran ‘sesat’. Aku sungguh tak mengerti mengapa itu terjadi. Mengapa mereka tak menanyaiku terlebih dahulu? Mengapa tak mengajakku duduk bersama jika aku memang salah? Mengapa mereka langsung, tanpa diduga me….. Kejadian malam itu begitu mengerikan.
Apakah salah jika diriku berpikir tentang Tuhan? Apakah salah jika aku berbeda dengan mereka? Bukankah perbedaaan adalah fitrah dari yang Maha Pencipta? Aku bukan penganut aliran sesat. Aku hanya mencoba mengenal Tuhanku, moncoba mencari tahu dimana Dia, sehingga aku bisa dekat denganNya.
Begitu berbahayanya ketika seseorang memiliki pikiran sendiri tentang Tuhan. Tafsir iman tidak lagi digunakan sebagai jalan pencarian Tuhan, tapi terkadang menjadi sesuatu yang menakutkan, mengancam nyawa . Sesuatu yang ekslusif dan tak perlu dibicarakan. Apalagi di zaman sekarang.
Persis yang kualami malam itu. Mereka beralih rupa turun sebagai prajurit Tuhan, menghakimi, menghujatku atas nama membela Tuhan. Membela agama. Membela kebenaran. Tapi kebenaran yang mana? Kebenaran siapa?
Tak suka aku kau paksa tuk sama
Kau punya jalan sendiri tuk capai muara
Jalanku dan jalanmu sama sekali berbeda
Tapi, muaranya ku yakin sama
Bukankah pepat pernah berkata
"Banyak jalan menuju Roma"
Biar jalan kita berbeda
Asalkan nantinya kitakan bertemu juga
Di istana terindah tak ada duanya
Dalam singgasana megah milik rajadiraja
Dan kita akan bercerita tentang keindahan dan cinta
Kenapa kita harus sama
Tidakkah semuanya indah jika kita berbeda
Bukankah semua ini memang tak sama
Kenapa ada putih, hitam, sawo matang, atau kuning langsat
Begitulah orang menyebut namanama kulit
Kenapa ada Jawa, Sunda, batak, maupun Madura
Kenapa ada Islam, Kristen, Hindu, ataupun Budha
Bukankah akan damai jika sama
Apakah demikian kenyataanya?
Perbedaan adalah fitrah manusia
Anekaragam kehendak sang Maha Pencipta
Tergantung bagaimana aku, Engkau, merangkainya
Menjadi harmoni indah di bumi persada
Aku ingin bertemu denganmu
Duhai kekasih pujaanku
Aku ingin mendekapmu dalam kesunyian
Memelukmu mesra dalam kesendirian
Tiap malam diriku menggigil tuk dapat menyentuhmu
Kecanduan yang menggila
Bibir lembutku bergetar luruh melantunkan namamu
Adiksi yang melanda
Saat ku hirup aroma nafas cahaya
Tubuhku melayang terbang tinggi ke angkasa
Siapa engkau yang berani buatku merana
Mengusik hati yang gundah gulana
Jadikan aku seperti burung berkelana sepanjang masa
Hinggap diantara rantingranting dedaunan yang terluka
Mencari sesuatu yang bukan fana
Sesuatu tuk tentramkan relungrelung jiwa
Jadikan aku layaknya bangkai pembusuk
Meleburkan jasad pendosa maupun ulama
Jangan jadikan diriku kutu busuk
Tanpa guna apaapa
Jadikan aku dedaunan nan hijau
Sejukkan hati yang gundah gulana
Sampai malaikatpun terpukau
Tak kuat tuk pejamkan mata
Terserahlah Kau akan jadikan aku apa
Aku tak ingin menjadi pemintaminta
Yang rakus akan dunia
Jadikan aku sebagai penerima